Perda-perda Bermasalah Hambat Investasi, Siapa Salah?
Utama

Perda-perda Bermasalah Hambat Investasi, Siapa Salah?

Dari kajian KPPOD, terdapat 347 Perda-perda bermasalah pada daerah sentra-sentra bisnis dan industri.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Para nara sumber dalam acara diskusi media
Para nara sumber dalam acara diskusi media "Perda Bermasalah Hambat Investasi di Daerah", Rabu (20/11). Foto: MJR

Bukan persoalan baru kalau peraturan-peraturan daerah (Perda) dianggap menghambat investasi. Persoalan ini juga tidak lepas dari kewenangan pemerintah daerah (Pemda) membuat peraturan tersendiri untuk mengatur wilayahnya. Sayangnya, seiring berjalan waktu, ternyata Perda-perda yang lahir justru dianggap tumpang tindih dan bertentangan dengan tingkat pusat sehingga menghambat investasi di daerah.

 

Persoalan ini selaras dengan hasil temuan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Kajian tersebut menemukan 347 Perda bermasalah pada bidang investasi dan kegiatan usaha di beberapa daerah sentra bisnis dan industri antara lain DKI Jakarta, Depok, Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Sidoarjo.

 

“Hasil kajian kami menemukan peraturan saling bertentangan di level pusat, baik antara UU dan regulasi turunan maupun antar regulasi sektoral. Sedangkan di level daerah sendiri, Perda sering kontradiktif dengan regulasi pemerintah pusat. Kondisi ini berdampak negatif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah,” jelas Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng, di Jakarta, Rabu (20/11).

 

Dia menambahkan persoalan ini menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah untuk segera diselesaikan.  Perda-perda tersebut menyebabkan birokrasi pelayanan menjadi lebih panjang. Selain itu, terdapat biaya-biaya perizinan yang dipungut Pemda dari pelaku usaha. Hal ini dianggap memberatkan pelaku usaha yang ingin berinvestasi di daerah.

 

Robert menjelaskan tumpang tindih peraturan ini disebabkan minimnya keterlibatan publik dalam penyusunan aturan. Selain itu, lemahnya pengawasan pemerintah pusat yang diwakili Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah provinsi dalam mengevaluasi rancangan Perda.

 

“Permasalahan lain muncul karena proses executive review, Kemendagri dan gubernur hingga saat ini belum menggunakan tools untuk mereview ranperda. Dampaknya proses review yang tergantung pada kapasitas, kompetensi dan jumlah executive reviewer,” tambah Robert.

 

Menurutnya, pemerintah pusat perlu mengambil langkah konkret seperti penyelesaian berbagai pengaturan tertentu yang tersebar di berbagai aturan ke dalam satu payung UU atau Omnibus Law. Kemudian, pemerintah pusat juga perlu membuat kebijakan terkait pencabutan regulasi di saat bersama menerbitkan aturan baru atau one in one out policy.

Tags:

Berita Terkait