Perebutan Kata Karena Ketidakjelasan Kriteria
Belinda Rosalina, S.H., LL.M (*)

Perebutan Kata Karena Ketidakjelasan Kriteria

Sejak lama dunia bisnis memang membutuhkan nama sebagai tanda pengenalnya dan kemudian berkembang pada tendensi konsumen atas mutu atau kualitas produk atau layanan suatu usaha.

Bacaan 2 Menit

 

Sengketa dengan argumentasi masalah trade dress memang justru menimbulkan kerumitan karena kerap terkait dengan masalah paten ataupun ketentuan mengenai desain industri dan seringkali akan melebar pada argumentasi mengenai fungsi ataupun mengenai look and feel sebagai bagian yang penting bagi persaingan antar produk. Mungkin hal inilah yang ingin dihindari banyak pihak yang bersengketa merek.

 

Padahal, seorang pengusaha yang beritikad buruk dengan mudah dapat mendaftarkan merek menggunakan kata kombinasi. Kemudian, dengan cara mendesain kemasan produk, konsumen Indonesia yang umumnya sangat sensitif masalah harga dengan mudah pula mengasosiasikan produk tersebut dengan produk lain yang sudah terkenal. Dan akhirnya, produk pendompleng ini dengan mudah melakukan penetrasi pasar.

 

Hakim pun Sering Beda Pendapat

 

Sebagai pintu terakhir pengawal keadilan, hakim yang notabene adalah manusia biasa dan tentu tak lepas dari subjektifitas, sering membuat putusan yang bertolak belakang. Kriteria yang jelas mengenai penentuan persamaan pada pokoknya tidaklah terlalu bisa diharapkan lahir dari berbagai putusan hakim di Indonesia.

 

Dalam beberapa contoh yurisprudensi yang berkaitan dengan persamaan pada pokoknya, diantaranya kasus yang sangat terkenal adalah merek PODO REDJO dengan KEMIRI REDJO.  Dalam putusan di Mahkamah Agung, kedua merek ini dianggap tidak mempunyai persamaan pada pokoknya (Kepma Nomor 1631 k/sip/1978 tanggal 20 Juni 1979).

 

Begitu juga dengan merek DAICHI, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah nomor satu, dan ICHI yang artinya dalam bahasa Indonesia juga adalah satu  sebagaimana tertuang dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.3055 K/Sip/1985 tanggal 29 Juni 1983). Kasus lain adalah LOBAK ABANG dan TIGA LOBAK  dalam Kepma Nomor 2570 K/Sip/1982 tanggal 28 Maret 1991). Begitupun dengan merek MEIJI JOY dinyatakan tidak memiliki persamaan baik dengan merek MEIJI maupun dengan merek JOY dalam Kepma No. 24 K/Sip/1985 tanggal 29 Juni 1983.

 

Dari berbagai putusan tersebut, pada awalnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk menetapkan adanya persamaan pada keseluruhan, atau pada pokoknya, antara merek yang satu dengan merek yang lainnya, maka merek yang bersangkutan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat tanpa mengadakan pemecahan atas bagian-bagian dari merek tersebut.

 

Namun kesimpulan ini dimentahkan kembali oleh putusan-putusan lain, diantaranya adalah sengketa merek TOLAK ANGIN milik PT. Industri Jamu dan Farmasi Sidomuncul yang dianggap mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek SINGKIR ANGIN dan TANGKIS ANGIN milik Sandra Linata Hidayat (No. 457/Pdt.G/1995/PN.Jkt.Pst tanggal 27 Maret 1996). Putusan lain yang mementahkan kesimpulan tadi adalah putusan sengketa merek SIDO MUNCUL dengan merek SIDO DADI dan MUNCUL KARYA milik Ping Liem (No. 42/Pdt.G/1997/PN.Jkt.Pst tanggal 5 Mei 1997).

Tags: