Pergantian Panglima TNI Momentum Terakhir Presiden Buktikan Komitmen Reformasi TNI
Terbaru

Pergantian Panglima TNI Momentum Terakhir Presiden Buktikan Komitmen Reformasi TNI

Diharapkan pengganti Andika Perkasa adalah sosok yang bebas dari dugaan pelanggaran HAM, memiliki komitmen pada demokrasi dan supremasi sipil, bebas dari korupsi, jauh dari penyalahgunaan jabatan, tidak terlibat dalam politik praktis, dan tidak memiliki catatan masuk terlalu jauh ke ranah sipil.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Panglima TNI, Andika Perkasa akan berakhir masa dinas keprajuritannya akhir tahun 2022. Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, melihat sampai saat ini Presiden Joko Widodo belum mengajukan calon panglima TNI baru kepada DPR. Mengacu Pasal 53 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama.

Gufron menilai Presiden Jokowi harus segera memproses pergantian Panglima TNI karena tidak ada urgensi untuk memperpanjang masa pensiun Jenderal TNI Andika Perkasa. Selain itu tidak ada dasar hukum yang kuat untuk perpanjangan masa dinas keprajuritan Panglima TNI saat ini. “Putusan MK beberapa waktu lalu juga menolak permohonan uji materi terkait perpanjangan masa dinas anggota TNI,” kata Gufron saat dikonfirmasi, Senin (14/11/2022).

Menurut Gufron, proses pergantian Panglima TNI yang akan datang harus dimanfaatkan sebagai momentum perbaikan internal dalam rangka mewujudkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang profesional, modern, dan menghormati HAM. Kendati pergantian panglima TNI merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tapi penting otoritas tersebut dijalankan secara bijak dan akuntabel.

“Pergantian panglima TNI bukan hanya tentang pergantian sosok pimpinan, tapi yang jauh lebih penting akan mempengaruhi baik-buruknya dinamika dan wajah TNI ke depan,” ujar Gufron.

Bagi Gufron, pergantian panglima TNI yang akan datang harus bebas dari pertimbangan yang pragmatis-politik. Misalnya mempertimbangkan unsur kedekatan dengan lingkaran kekuasaan dan kepentingan dan keuntungan politik. Pola pergantian yang berbasis pada pragmatis-politis berbahaya, karena menjadikan TNI rentan dipolitisasi, menggerus profesionalitas, merusak soliditas internal TNI, dan mengabaikan reformasi TNI.

Proses pergantian sepatutnya mengedepankan pendekatan legal-substantif. Berdasarkan pendekatan legal, mekanisme pergantian harus tetap mengacu pada ketentuan yang diatur UU TNI. Selain calon yang ada memenuhi syarat yang diatur dalam UU tersebut, pergantian panglima TNI perlu mengedepankan pola rotasi antar matra dimana panglima TNI dijabat secara bergiliran.

“Merujuk Pasal 13 ayat (4) UU TNI yang menyatakan bahwa jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan,” ujar Gufron mengingatkan.

Tags:

Berita Terkait