Sembilan Catatan Imparsial terhadap Agenda Reformasi TNI
Utama

Sembilan Catatan Imparsial terhadap Agenda Reformasi TNI

Mulai wacana pembentukan dewan keamanan nasional, peran internal militer yang semakin menguat, hingga rendahnya kesejahteraan prajurit TNI dan tidak merata.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Lemahnya kontrol sipil terhadap militer menjadi bagian penyebab gagalnya reformasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Padahal kontrol sipil terhadap militer menjadi syarat penting dalam upaya demokratisasi serta terwujudnya profesionalisme militer dan supremasi sipil. Demikian disampaikan Direktur Imparsial, Gufron Mabruri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/10/2022).

Dalam catatan kami, selama ini kontrol sipil terhadap militer sangat lemah dan bahkan dapat dikatakan cenderung permisif pada kembalinya politik militer,” ujarnya.

Alih-alih melanjutkan tongkat estafet reformasi di TNI, reformasi ini malah berujung mandek atau berjalan mundur. Alhasil, tak ada capaian positif terhadap reformasi TNI dalam kurun waktu 7 tahun di era rezim pemerintahan Joko Widodo. Bagi Imparsial, Presiden Jokowi tak memiliki kemauan dan keberanian dalam menuntaskan agenda reformasi TNI.

Tak hanya itu, DPR sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi pengawasan malah tak menjalankan tugasnya secara efektif dan maksimal. Artinya, pengawasan dan pengawalan agenda reformasi TNI pun gagal dilakukan DPR. Bahkan, parlemen menjadi aktor yang ikut melahirkan UU bermasalah. Seperti UU No.23 Tahuun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

Gufron menuturkan ada sembilan catatan Imparsial terhadap agenda reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Pertama, kembalinya politik dan kewenangan militer dalam urusan keamanan dalam negeri melalui wacana pembentukan Dewan Keamanan Nasional. Menurutnya, Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas) melayangkan surat ke presiden soal perubahan nomenklatur menjadi Dewan Keamanan Nasional (Wankamnas/DKN).

Sedianya, gagasan tersebut merupakan agenda lama yang disisipkan dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) yang kala itu mendapat penolakan dari civil society, sehinggaberujung gagal disahkan. Karenanya, langkah pemerintah tersebut menjadi jalan pintas setelah gagalnya RUU Kamnas.

“Kami mempertanyakan urgensi pembentukan DKN saat ini karena akan menimbulkan tumpang tindih (overlapping) dengan kerja dan fungsi lembaga negara yang ada, seperti Kemenkopolhukam, Lemhanas, Watimpres, serta Kantor Staf Kepresidenan (KSP),” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait