Peringati Mayday 2023, Komnas HAM Terbitkan 8 Rekomendasi
Utama

Peringati Mayday 2023, Komnas HAM Terbitkan 8 Rekomendasi

Antara lain merekomendasikan korporasi menerapkan prinsip Business and Human Rights (UNGPs,-red) atas tanggung jawab untuk menghormati (Responsibility to Respect) HAM pekerja/buruh.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Sebaliknya, Anis melihat ada perlakuan khusus terhadap tenaga kerja asing (TKA), seperti kemudahan dalam perekrutan untuk level direksi, komisaris dan lain-lain. Serta ada laporan terkait pengekangan serikat pekerja, dan penegakan hukumnya banyak berhenti di tingkat kepolisian. Selain itu kerentanan khusus bagi pekerja perempuan seperti kekerasan seksual di tempat kerja, pemenuhan hak cuti haid dan melahirkan serta larangan berserikat bagi pekerja perempuan.

Mantan Direktur Migrant Care itu mengingatkan, pekerja migran di luar negeri rentan menjadi korban transnational organized crime, termasuk tindak pidana perdagangan orang. Sepanjang 2020-2023, ada 1.200 buruh migran menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dengan modus scamming di beberapa negara di Asia Tenggara. Bagi pekerja rumah tangga (PRT), sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan serta rentan menghadapi situasi kerja tidak layak.

Rentannya pelanggaran hak buruh selaras dengan pengaduan yang masuk ke Komnas HAM. Periode 2020-2023 Komnas HAM menerima pengaduan terkait ketenagakerjaan baik buruh di dalam negeri maupun pekerja migran Indonesia di luar negeri sebanyak 553 aduan dengan rincian 177 (2020), 192 (2021), 170 (2022) dan 28 (hingga April 2023).

Mayoritas kasus perburuhan yang diadukan terkait upah dan tunjangan tidak dibayar sebanyak 251 kasus, PHK sewenang-wenang 181 kasus, ketidakjelasan status pekerja sebanyak 31 kasus, union busting 26 kasus, penurunan pangkat dan mutasi sewenang-wenang sebanyak 17 kasus, larangan pembentukan serikat pekerja sebanyak 9 kasus, dan lain-lain sebanyak 38 kasus. Pihak yang paling banyak diadukan adalah korporasi dan pemerintah pusat.

Terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnud menyorot UU 6/2023 memuat sejumlah pasal yang memangkas jaminan hak-hak buruh dalam berbagai aspek. Fleksibilitas pasar kerja (labour market flexibility) menjadi nafas pembentukan substansi UU ini setidaknya dalam 3 hal. Pertama, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja. Konsep ini semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bertambah masa toleransi dari 3 tahun menjadi 5 tahun.

Selain itu UU 6/2023 mendorong praktik outsourcing (alih daya) semakin liar dan tidak terkontrol, serta memutihkan ‘dosa’ dengan hilangnya peraturan untuk beralih menjadi hubungan kerjapada perusahaan user jika melanggar. Penambahan alasan Pemutusan Kerja (PHK) dan pengurangan kompensasi PHK menjadi alasan yang memudahkan Perusahaan melakukan PHK kepada Buruh. Sehingga kepastian kerja dan hak terhadap buruh menjadi minim.

Kedua, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja. Yakni pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh dan mengurangi hak istirahat buruh, hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Selain itu, tidak ada jangka waktu serta mekanisme perpanjangan kontrak kerja, sehingga aturan ini berpotensi dijadikan alasan bagi pengusaha untuk menjadikan buruh sebagai pekerja berstatus kontrak seumur hidup.

Ketiga, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah. Selain ketiga hal itu Isnur melihat jaminan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat terhadap buruh semakin dikebiri melalui Pasal 273 UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat aturan tentang ancaman pidana demonstrasi.

“Aturan ini akan melemahkan posisi tawar serikat buruh yang menjadikan demonstrasi sebagai metode perjuangan buruh,” urainya.

Isnur menilai, UU 6/2023 merupakan bentuk nyata pemerintah dan DPR mengutamakan kepentingan oligarki ketimbang buruh. Keberpihakan itu juga terlihat dari lambatnya proses legislasi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Berbagai kebijakan itu bertentangan dengan TAP MPR No.16 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang mewajibkan negara menempatkan buruh sebagai subjek utama dalam membangun demokrasi ekonomi.

Tags:

Berita Terkait