7 Catatan Serikat Buruh Terhadap Permenaker Jamsos Bagi Pekerja Migran
Terbaru

7 Catatan Serikat Buruh Terhadap Permenaker Jamsos Bagi Pekerja Migran

Seperti masih memposisikan pembayar iuran Jamsos adalah buruh migran, pemberian bantuan biaya perawatan dan pengobatan akibat kecelakaan kerja di negara penempatan ditetapkan maksimal Rp50 juta, hingga perlu diatur bagaimana penjaminan program JKN bagi buruh migran di luar negeri.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sekjen OPSI, Timboel Siregar. Foto: SGP
Sekjen OPSI, Timboel Siregar. Foto: SGP

Pemerintah telah menerbitkan Permenaker No.4 Tahun 2023 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia (Jamsos PMI). Beleid yang diundangkan 22 Februari 2023 itu membenahi penyelenggaraan jamsos bagi buruh migran Indonesia yang sebelumnya diatur dalam Permenaker No.18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia. Kendati demikian, kalangan serikat buruh mencermati masih ada persoalan dalam Permenaker 4/2023.

Sekretaris  Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mencatat sedikitnya ada 7 persoalan. Pertama, Permenaker masih memposisikan pembayar iuran jaminan sosial adalah buruh migran. Padahal Pasal 30 UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) mengamanatkan Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan.

Mandat Pasal 30 UU PPMI itu ditindaklanjuti Pasal 3 Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) No.9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang mengamanatkan buruh migran tidak dapat dibebani Biaya Penempatan, yang salah satunya adalah biaya jaminan sosial PMI. Mengacu kedua ketentuan itu, Timboel mengatakan Permenaker 4/2023 harusnya mengatur pembayar iuran adalah pelaksana penempatan yakni perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia atau BP2MI jika penempatan dilakukan secara G to G.

“Ketentuan di Permenaker No.4 Tahun 2023 ini bertentangan dengan pasal 30 UU PPMI junto pasal 3 Peraturan BP2MI No.9 tahun 2020,” kata Timboel, Senin (06/03/2023).

Baca juga:

Kedua, pemberian bantuan biaya perawatan dan pengobatan akibat kecelakaan kerja di negara penempatan ditetapkan maksimal Rp50 juta. Lantas siapa yang menanggung biaya jika lebih dari Rp50 juta?. Berbeda dengan manfaat bagi peserta korban kecelakaan kerja (JKK) di dalam negeri yang dibiayai tanpa ada pembatasan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No.82 tahun 2019 tentang Perubahan atas PP No.44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, pembiayaan kuratif bagi peserta yang mengalami kecelakaan kerja harus diberikan sampai peserta pulih.

Ketiga, PP 82/2019 mengatur peserta yang menjalani pemulihan sehingga tidak mampu bekerja mendapat santunan dengan besaran 100 persen dari upah selama 12 bulan. Bila lebih dari setahun, peserta mendapat 50 persen dari upah. Sayangnya ketentuan itu tidak ada dalam Permenaker 4/2023. Santunan itu bisa membantu perekonomian buruh migran yang mengalami kecelakaan kerja.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait