5 Catatan Kritis Apindo Terhadap Permenaker Upah Minimum 2023
Terbaru

5 Catatan Kritis Apindo Terhadap Permenaker Upah Minimum 2023

Terbitnya Permenaker No.18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 dinilai menjauhkan filosofi upah minimum sebagai jaring pengaman (safety net).

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Penetapan upah minimum yang dilakukan setiap tahun kerap menuai polemik. Formula penetapan upah minimum sebagaimana diatur PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan diprotes kalangan buruh, tapi diapresiasi pengusaha. Anggota Komite Regulasi dan Kelembagaan Apindo, Susanto Haryono, mengatakan PP No.36 Tahun 2021 menjaga upah minimum agar sesuai dengan filosofinya sebagai jaring pengaman (safety net).

Tapi hadirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.18 Tahun 2023 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 dinilai tidak sesuai dengan tujuan PP No.36 Tahun 2021. Apindo telah mengajukan permohonan uji materi terhadap Permenaker No.18 Tahun 2022 ke Mahkamah Agung. Susanto mengatakan sedikitnya ada 5 hal yang dikritik Apindo terhadap beleid itu.

Pertama, formula Permenaker No.18 Tahun 2022 adalah kemunduran atas upaya pemerintah melalui PP No.36 Tahun 2021 dalam mengembalikan upah minimum sesuai filosofinya sebagai safety net. Sebagaimana diketahui, PP No.36 Tahun 2021 mengatur upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, dengan variabel meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Penyesuaian nilai upah minimum ditetapkan antara batas atas dan batas bawah. Formula penghitungan upah minimum menggunakan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

Sementara Permenaker No.18 Tahun 2022 mengatur formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Kedua, Susanto menilai telah terjadi faktor ganda dalam variabel formula pengupahan dalam Permenaker No.18 Tahun 2022. “Dalam variabel pertumbuhan ekonomi telah mengandung pengaruh dari inflasi,” kata Susanto Haryono dalam konferensi pers, Selasa (3/1/2022).

Ketiga, koefisien α (indeks tertentu) yang ditentukan dalam rentang 0,1-0,3 menimbulkan ketidakpastian mengenai dasar apa dalam penentuan indeks yang akan digunakan. Serta menimbulkan ketidakjelasan siapa pihak yang berwenang menentukan.

Keempat, data inflasi year on year per September 2022 menunjukkan bahwa inflasi di seluruh provinsi Indonesia dalam rentang terendah 4,5 persen (Maluku Utara) hingga tertinggi 8,5 persen (Sumbar). Susanto menjelaskan dengan formula Permenaker No.18 Tahun 2022, maka berapapun kenaikan inflasi akan menjadi kenaikan minimal pada upah minimum. “Persentase inflasi tidak sepenuhnya berpengaruh kepada komponen hidup pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari 1 tahun,” ujarnya.

Kelima, data pertumbuhan ekonomi provinsi rentang terendah 2,4 persen (Sulbar dan Papua Barat) hingga tertinggi 25,5 persen (Maluku Utara). Meski terdapat koefisien, Susanto berpendapat pengaruh kumulasi variabel pertumbuhan ekonomi ini akan membuat kenaikan upah minimum selalu dalam keadaan yang tinggi.

Terpisah, Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai terbitnya Permenaker No.18 Tahun 2022 merupakan kesadaran pemerintah terhadap pasal 26 PP No.36 Tahun 2021 terkait formula kenaikan upah minimum yang tidak mampu mendukung daya beli pekerja dan keluarganya. Tercatat rata-rata kenaikan upah minimum 2022 sebesar 1,09 persen, tergerus inflasi yang mencapai 5,42 persen.

“Daya beli pekerja menurun secara signifikan, dan ini akan mempengaruhi konsumsi agregat masyarakat yang berkontribusi 52 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Timboel di Jakarta, Rabu (4/1/2022).

Tags:

Berita Terkait