Perizinan Satu Data Melalui Omnibus Law
Kolom

Perizinan Satu Data Melalui Omnibus Law

​​​​​​​Momentum Omnibus Law akan berdampak pada lahirnya perizinan terintegrasi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (5) PP Nomor 24 Tahun 2018.

Bacaan 5 Menit

Satu Data

Saat ini tantangan utama BKPM sebagai instansi yang membidangi pengurusan perizinan online single submission adalah mewujudkan konsep single submission itu sendiri. Konsep single submission merupakan bentuk penegasan dari Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Dalam mewujudkan konsep single submission maka pemerintah pusat melalui BKPM harus melakukan penataan kewenangan penerbitan perizinan, dalam hal ini termasuk pada penataan di tingkat pemerintah daerah. Dalam laporan ombudsman (2019), hingga saat ini 80 persen perizinan masih diurus secara tatap muka dan tidak melalui sistem OSS seperti izin lingkungan, demikian juga hingga saat ini belum ada pengurusan perizinan yang terintegrasi sehingga pengurusan perizinan masih memakan waktu 6 bulan sampai dengan 4 tahun (waktu yang panjang khususnya terkait tata guna lahan).

Makna dari single submission yang harus diwujudkan adalah menuju pengurusan perizinan terpadu, terintegrasi, dan mewujudkan data sharing antar instansi. Tanpa adanya pengurusan perizinan yang terintegrasi maka kemudahan berusaha tidak akan dapat diwujudkan karena investor masih harus berhadapan dengan panjangnya birokrasi pengurusan perizinan yang penuh ketidakpastian.

Data sharing antar instansi juga dapat dipergunakan untuk mewujudkan sifat pengurusan perizinan yang terintegrasi artinya investor tidak perlu mengurus perizinan yang sifatnya pengulangan pada instansi yang berbeda, sehingga baik jumlah perizinan yang harus diurus maupun prosedur tahapan pengurusan perizinan juga dapat diringkas dengan adanya data sharing antar instansi. Dalam pandangan investor jika jumlah perizinan yang diperlukan semakin sedikit dan waktu pengurusan serta tahapan untuk pengurusan semakin pendek maka akan semakin menunjukkan adanya kepastian hukum pada investor selain menunjukkan tingkat kemudahan berusaha yang lebih baik.

Omnibus Law

Penggunaan pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik tidak akan optimal jika tanpa disertai dengan penataan kewenangan masing-masing instansi yang terkait dengan penerbitan perizinan. Saat ini OSS tidak dapat berfungsi optimal karena OSS belum dapat mewujudkan perizinan terpadu dan terintegrasi, serta OSS belum dapat menciptakan data sharing antar instansi yang dapat meringkas jumlah perizinan berusaha maupun meringkas tahapan pengurusan perizinan berusaha.

Persoalannya dalam hal ini adalah OSS lahir melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018, sedangkan kewenangan instansi yang terlibat dalam pemberian izin bisa saja bersumber dari aturan yang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah, misalnya kewenangan penerbitan izin yang tumpang tindih bersumber dari Undang-Undang.

Sinkronisasi menggunakan aturan payung akan dipandang lebih cepat, efektif, dan dapat menimbulkan dampak yang signifikan, sinkronisasi kewenangan melalui pembuatan aturan payung sebagaimana saat ini dikenal dengan konsep Omnibus Law. Omnibus Law adalah produk hukum yang merevisi beberapa aturan hukum sekaligus melalui aturan payung, disebut sebagai aturan payung karena Omnibus Law secara hierarki perundangan akan lebih tinggi dibanding aturan yang disederhanakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait