Perjanjian Pranikah: Pengertian, Tujuan, Isi, dan Larangan
Terbaru

Perjanjian Pranikah: Pengertian, Tujuan, Isi, dan Larangan

Perjanjian pranikah adalah perjanjian yang dibuat menjelang atau saat pernikahan berlangsung. Berikut paparan selengkapnya.

Oleh:
Tim Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi perjanjian pranikah. Sumber: pexels.com
Ilustrasi perjanjian pranikah. Sumber: pexels.com

Pembuatan perjanjian pranikah atau prenuptial agreement masih terbilang asing di tengah masyarakat. Bagi sebagian orang, pembuatannya bahkan terkesan tabu dan egois. Padahal, sejatinya, perjanjian ini melindungi kedua pasangan bilamana terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perceraian atau kematian.

Definisi Perjanjian Pranikah

Perjanjian pranikah adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan yang hendak menikah dan berfungsi untuk mengikat hubungan keduanya.

Lebih lanjut, Soetojo Prawirohamidjojo, seorang ahli hukum, menerangkan bahwa perjanjian pranikah atau perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Baca juga:

Perjanjian Pranikah Apakah Perlu?

Perihal diperlukan atau tidaknya perjanjian pranikah bergantung pada keputusan dan kondisi pasangan. Terkait hal ini, dipaparkan Haedah Faradz dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8, umumnya perjanjian pranikah diperlukan dan dibuat dalam kondisi sebagai berikut.

  1. Jika terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak.
  2. Apabila keduanya memiliki pemasukan yang cukup besar.
  3. Masing-masing pihak memiliki usaha sendiri, perjanjian dibuat agar pihak lain tidak tersangkut apabila pihak lainnya pailit.
  4. Salah satu atau kedua pihak memiliki utang sebelum kawin dan hendak bertanggung jawab sendiri.

Perjanjian Pranikah Secara Hukum

Aturan mengenai pembuatan perjanjian pranikah dimuat dalam KUH Perdata dan UU Perkawinan. Pasal 139 KUH Perdata menerangkan bahwa para calon suami istri dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik, tata tertib umum, dan sejumlah ketentuan yang berlaku.

Peraturan mengenai harta bersama yang dapat dikesampingkan itu sebagaimana diterangkan Pasal 35 UU Perkawinan yang meliputi dua hal. Pertama, harta bersama atau harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Kedua, harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (dalam sebuah perjanjian).

Terkait kapan perjanjian pranikah dapat dibuat, ketentuan dalam UU Perkawinan menerangkan bahwa pembuatan perjanjian pranikah dapat dilaksanakan pada waktu pernikahan atau sebelum pernikahan, dan perjanjian tersebut mulai berlaku saat perkawinan dilangsungkan.

Kemudian, penting pula untuk diketahui bahwa perjanjian pranikah merupakan pilihan opsional, tidak “wajib” dibuat jika tidak diinginkan. Namun, tanpa ada perjanjian pranikah, sebagaimana diterangkan Pasal 146 KUH Perdata, hasil-hasil dan pendapatan istri masuk dalam penguasaan suaminya.

Isi Perjanjian Pranikah

Apa saja isi perjanjian pranikah? Isi perjanjian pranikah dapat berupa banyak hal. Dapat berupa pemisahan harta, pemisahan utang, hak asuh anak terjadi perceraian, hak dan kewajiban selama pernikahan, dan segala kesepakatan bersama yang perlu dituliskan.

Terkait pembuatan isi perjanjian pranikah, sebagaimana diterangkan Mike Rini (dalam Faradz, 2008: 251) ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatannya, antara lain:

  1. Keterbukaan

Kedua pihak harus terbuka dalam mengungkapkan semua detail kondisi keuangan, baik sebelum menikah hingga setelah menikah kelak. Keterbukaan yang dimaksud adalah berapa jumlah harta bawaan masing-masing dan potensi harta mengalami pertambahan saat bersama. Tidak luput juga soal utang bawaan masing-masing. Terkait utang, penting untuk dibahas siapa yang kelak akan bertanggung jawab menanggung utang tersebut. Keterbukaan dimaksudkan agar kelak tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

  1. Kerelaan

Dalam penulisan isi dan segala hal menyangkut perjanjian pranikah, kedua pihak haruslah saling rela menyetujui isinya dan mau menandatanganinya tanpa paksaan. Apabila dibuat dengan paksaan, perjanjian ini dapat terancam batal.

  1. Bantuan pihak objektif

Mintalah bantuan pada pihak berwenang dengan reputasi yang baik dan bisa menjaga objektivitas perjanjian yang dibuat sehingga isinya dibuat adil bagi kedua belah pihak.

  1. Dibuat oleh notaris

Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat tangan semata, namun disahkan di notaris. Setelah jadi, perjanjian harus dicatatkan atau disahkan pula oleh pegawai KUA dan catatan sipil.

Isi Perjanjian Pranikah yang Dilarang Hukum

Meski isi perjanjian pranikah tidak diatur secara spesifik, KUH Perdata mengatur sejumlah hal yang dilarang dalam sebuah perjanjian pranikah. Adapun hal-hal atau ketentuan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 139 KUH Perdata yang menyatakan bahwa para calon suami istri dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik, tata tertib umum, dan sejumlah ketentuan yang berlaku.

  1. Tidak boleh mengurangi hak suami

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 140 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi hak-hak suami, baik sebagai suami, sebagai ayah, sebagai kepala rumah tangga, dan hak-hak lain sebagaimana diatur dalam undang-undang.

  1. Tidak boleh mengatur warisan

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 141 KUH Perdata bahwa para calon suami istri dalam perjanjian tersebut tidak boleh melepaskan hak atas warisan keturunan mereka pun tidak boleh mengatur warisan itu.

  1. Tidak boleh berat sebelah dalam hal utang

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 142 KUH Perdata bahwa mereka (para calon suami istri) tidak boleh membuat perjanjian yang membuat salah satu pihak mempunyai kewajiban utang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan-keuntungan harta bersama.

  1. Tidak boleh menggunakan hukum “asing” sebagai dasar hukum perkawinan

Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 143 KUH Perdata bahwa mereka (para calon suami istri) tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang, kitab undang-undang luar negeri; atau oleh beberapa adat kebiasaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan daerah, yang pernah berlaku di Indonesia.

Simak ulasan hukum premium dan temukan koleksi lengkap peraturan perundang-undangan Indonesia, versi konsolidasi, dan terjemahannya, serta putusan dan yurisprudensi, hanya di Pusat Data Hukumonline. Dapatkan akses penuh dengan berlangganan Hukumonline Pro Plus sekarang!

Tags:

Berita Terkait