Perkembangan Pembahasan Konvensi Kejahatan Siber di PBB
Terbaru

Perkembangan Pembahasan Konvensi Kejahatan Siber di PBB

Indonesia secara aktif terlibat dalam berkontribusi, baik secara tertulis mengenai scope, structure dan objectives maupun melalui diskusi bilateral intensif dengan sejumlah negara.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI, Caka A. dalam pemaparannya pada FGD Konvensi Kejahatan Siber PBB, Rabu (2/11/2022). Foto: FKF
Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI, Caka A. dalam pemaparannya pada FGD Konvensi Kejahatan Siber PBB, Rabu (2/11/2022). Foto: FKF

Tidak dapat dielakkannya perkembangan teknologi tentu berimplikasi terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Di lihat dari segi positifnya, dapat memudahkan berbagai pelaksanaan pekerjaan. Namun di sisi lain pemanfaatannya juga berbanding lurus dengan ancaman terhadap keamanan. Hal itu dapat dilihat dari ribuan kasus kejahatan siber yang terjadi di Indonesia. Demikian pula dengan negara-negara lain di dunia menghadapi ancaman yang sama.

“Pada tahun 2010 disepakati apa yang disebut Salvador Declaration. Salah satu elemen utama dari deklarasi ini adalah memberikan mandat kepada UNODC, khususnya kepada organnya Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, untuk membahas isu kejahatan siber dengan membentuk suatu open-ended intergovernmental expert group on cybercrime membahas secara komprehensif isu kejahatan siber,” ujar Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI, Caka A., dalam pemaparannya pada FGD Konvensi Kejahatan Siber PBB, Rabu (2/11/2022).

Setelah 6 kali sidang, Caka menerangkan diantara rekomendasi ialah mempertimbangkan instrumen hukum kejahatan siber di bawah kerangka PBB. “Perlu digarisbawahi di bawah PBB. Berarti inklusif, terbuka, dan transparan. Kemudian pada tahun 2019 pada sidang Majelis Umum PBB ke-74, diadopsi resolusi oleh Majelis Umum PBB No.74 yang intinya membentuk ad hoc committee to elaborate international convention on countering the use of information and communications technologies for criminal purposes,” kata dia.

Baca Juga:

Memang kejahatan siber kala itu baru diatur dalam Budapest Convention yang merupakan konvensi hasil susunan negara-negara Eropa yang tergabung dalam Council of Europe. Sehingga, dunia internasional terbagi dalam 2 pandangan berbeda terkait instrumen hukum untuk menangani kejahatan siber. Antara pihak yang merasa cukup dengan pengaturan Budapest Convention. Di pihak lain terdapat kalangan negara yang berpandangan bahwa diperlukan instrumen hukum yang inklusif dan transparan dapat menampung seluruh kepentingan negara.

Oleh karenanya, kini telah terbentuk Ad Hoc Committee to Elaborate a Comprehensive International Convention on Countering the Use of Information and Communications Technologies for Criminal Purposes dengan Indonesia diantaranya sebagai Rapporteur. Mewakili grup Asia Pasifik, atas nama Arsi Dwinugra Firdausy yang merupakan Minister Counsellor KBRI Wina bertanggung jawab atas posisi tersebut.

Rapporteur itu tugasnya kalau di PBB bukan notulensi, kalau itu (notulensi) hanya mencatat aja. Tapi Rapporteur itu yang mengesahkan ‘ini lho hasil perdebatan kita’, dan Indonesia berperan sebagai Rapporteur namanya pak Arsi,” terang Duta Besar RI untuk Austria Damos Dumoli Agusman dalam kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait