Perlindungan HAM dan Penegakan Hukum dalam RUU Penyadapan
Kolom

Perlindungan HAM dan Penegakan Hukum dalam RUU Penyadapan

​​​​​​​Penyadapan sebagai bagian dari kegiatan penegak hukum mestinya dilakukan dengan mekanisme yang jelas agar tidak mencederai hak asasi manusia dalam berkomunikasi dan memenuhi kepentingan publik untuk dimintai pertanggungjawaban.

Bacaan 2 Menit

 

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36  Tahun 1999 tentang Telekomunikasi diatur “ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah” dan Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 diatur “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

 

Ketika pembatasan atas rights of privacy dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum maka sebenarnya kita telah telah memilih mengesampingkan rights of privacy secara terbatas. William D.Rose dengan asasnya primavasi mengatakan bahwa apabila terdapat dua nilai yang berada pada tataran yang sama yang berhadapan, maka apabila yang satu dijalankan yang lainnya pasti akan terkesampingkan dan begitu pula sebaliknya, sehingga harus memilih yang paling menguntungkan kepentingan umum. Hakikat kepentingan umum adalah tata cara yang dapat diketahui oleh masyarakat, adanya kontrol pihak lain, pihak-pihak dapat dimintakan pertanggungjawaban serta adanya rehabiltasi/ganti kerugian apabila salah sasaran dan keadaan-keadaan tersebut telah diatur  dalam RUU Penyadapan.

 

Ketentuan Pasal 28 ayat (1) RUU Penyadapan menentukan “dalam hal pelaksanaan penyadapan berdasarkan putusan pengadilan dinyatakan salah sasaran, Pemerintah Pusat wajib melaksanakan rehabilitasi terhadap korban salah sasaran dimaksud”. Adapun bentuk rehabilitasi pada ayat (2) meliputi memulihkan privasi, kehormatan dan mengganti kerugian kemudian bandingkan dengan ganti kerugian dalam Pasal 95 KUHAP atas tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan atau tindakan lain tanpa alasan/kekeliruan dilakukan melalui mekanisme Praperadilan dengan jangka waktu penyelesaian 7 hari.

 

Hal ini berarti adanya perbedaan proses menuntut kerugian dalam RUU Penyadapan dan KUHAP yang secara khusus menentukan prosesnya melalui praperadilan. Dalam RUU Penyadapan tidak diatur mekanismenya maka secara otomatis tunduk pada hukum acara perdata melalui gugatan perbuatan melawan hukum, kecuali ada penambahan ayat misalnya: “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan paling lama 20 hari sejak gugatan ganti rugi diajukan, dengan mekanisme khusus yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung” atau penambahan klausul pada ayat (1)  “diputus disidang praperadilan”.

 

Selain itu, bagi aparat penegak hukum yang membocorkan dan/atau mengungkapkan proses dan/atau hasil penyadapan kepada pihak lain yang tidak berwenang diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, sedangkan apabila dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum diancam dengan pidana 6 tahun penjara. Ketentuan norma ini, menunjukkan tanggungjawab negara terhadap perlindungan HAM, apalagi bila pelanggarannya dilakukan oleh aparat penegak hukum yang seyogyanya menjadi tauladan bersikap terhadap informasi yang bersifat privasi.

 

Walaupun demikian, RUU belum mengatur sanksi kepada aparat penegak hukum yang melakukan penyadapan tidak sesuai prosedur sehingga mekanisme kontrol masyarakat hanya melalui permohonan praperadilan atas penetapan tersangka yang salah satu alat bukti diperoleh melalui penyadapan yang tidak sah.

 

RUU Penyadapan

Ketentuan RUU Penyadapan dalam Pasal 13 ayat (4) mengatur “Pihak yang dirugikan atas penayangan dan/atau pemutaran hasil Penyadapan yang substansinya tidak berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan pada suatu sidang yang terbuka untuk umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat melaporkan keberatan atau tuntutan kepada badan pengawas hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia”.

Tags:

Berita Terkait