Perlindungan Hukum Pekerja Freelance dan Informal Perlu Diperkuat
Berita

Perlindungan Hukum Pekerja Freelance dan Informal Perlu Diperkuat

Ketentuan yang mengatur pekerja freelance perlu diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri. Perlu juga merevisi UU Ketenagakerjaan yang memuat perlindungan pekerja freelance dan informal.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

“Perlindungan hukum bagi pekerja lepas sangat minim karena hanya diatur melalui Kepmenakertrans. Regulasi ini berpotensi besar diabaikan pengusaha, pemerintah harus menerbitkan peraturan yang lebih tinggi seperti Peraturan Menteri,” usul Ade di Jakarta, Jumat (5/4/2019).

 

Ade mengaku selama ini LBH Pers telah mengadvokasi beberapa kasus pekerja lepas. Salah satunya, kasus yang dialami fotografer Indonesia yang bekerja di perusahaan media asing. Modus yang selama ini sering terjadi yakni perusahaan secara sepihak memutus hubungan kerja karena dianggap hubungan keduanya hanya sebatas jual-beli. Padahal, pekerja sudah melakukan pekerjaannya selama bertahun-tahun. Baca Juga: Reuters Dihukum Bayar Pesangon Fotografer Indonesia

 

Melindungi pekerja informal

Sekjen OPSI, Timboel Siregar mengatakan kemajuan teknologi dan revolusi industri 4.0 mendorong tren pasar kerja menjadi lebih fleksibel, seperti tenaga kerja freelancer dan informal. Tapi keberadaan pekerja freelance dan informal belum diatur dan dlindungi secara formal dalam regulasi. Padahal konstitusi mengamanatkan semua pekerja merupakan subyek yang harus dilindungi, tidak hanya pekerja formal.

 

Melansir data BPS pada Februari 2018, Timboel mengungkapkan jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 131 juta orang. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk menjalankan amanat konstitusi melindungi pekerja informal. Dengan perlindungan itu, seluruh angkatan kerja serta keluarganya akan memiliki daya beli dan kepastian kesejahteraan. Memastikan tidak terjadi ekploitasi pekerja dan menjamin kepastian hukum bagi pekerja.

 

Timboel mencatat pekerja informal saat ini belum boleh mendaftar sebagai peserta Jaminan Pensiun (JP) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Ke depan, kebijakan ini harus dipertimbangkan agar pekerja informal bisa ikut menjadi peserta JP, sehingga mereka tetap memiliki daya beli ketika masuk usia pensiun.

 

Selain itu, usulnya, khusus untuk pekerja informal yang masuk kategori miskin, iuran kepesertaan jaminan sosialnya harus disubsidi negara. Begitu pula dengan perlindungan upah, pemerintah perlu mengalokasikan subsidi bagi pekerja informal dan freelance yang upahnya di bawah upah minimum.

 

Tak hanya itu, pekerja informal dan freelance menurut Timboel layak mendapatkan pelatihan kerja. Pemerintah bisa memberikan subsidi untuk pelatihan ini. Pemerintah perlu juga memberikan kepastian bantuan hukum bagi seluruh pekerja. Untuk mengakomodir berbagai perlindungan itu bisa dilakukan melalui revisi UU Ketenagakerjaan.

 

“Jangan hanya pekerja formal, UU Ketenagakerjaan harus direvisi untuk menjamin perlindungan bagi pekerja freelance dan informal,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait