Perlu Perombakan Sistem Pemilu
Konferensi HTN 2014:

Perlu Perombakan Sistem Pemilu

Kodifikasi regulasi pemilu suatu keniscayaan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Perlu Perombakan Sistem Pemilu
Hukumonline
Kualitas berjalan proses demokrasi di Indonesia masih belum terkonsolidasi dengan baik. Ini antara lain disebabkan pelaksanaan sistem pemilu kontradiktif dengan sistem pemerintahan presidensial sesuai konstitusi. Sebab, pemilu bukan hanya konversi suara menjadi kursi, tetapi juga instrumen demokrasi.

“Sistem pemilu kita mesti ditata ulang sesuai sistem pemerintahan dan kepartaian, dalam rangka konsolidasi demokrasi,” ujar Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof Ramlan Surbakti saat berbicara dalam sesi seminar Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Anugerah Konstitusi Muhammad Yamin Award di Sawahlunto Sumatera Barat, Jum’at (30/5).

Seminar yang bertemakan “Pemilihan Umum Nasional Serentak” ini, selain Ramlan hadir pembicara lain yakni mantan anggota PAH I Badan Pekerja MPR Slamet Effendy Yusuf dan Pakar Hukum Tata Negara Prof Saldi Isra.

Ramlan menilai pelaksanaan sistem multipartai merupakan faktor penyebab mengapa pemerintahan sistem presidensial tidak efektif dan tidak stabil, seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin. Sistem multipartai dengan sistem pemilu proporsional dan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden (Pilpres) terpisah mengakibatkan disiplin kader partai terhadap kebijakan partai menjadi lemah.

“Pemilu legislatif dan Pilpres terpisah ini tak hanya memunculkan sistem multipartai, tetapi pemerintahan presidensial tidak efektif. Efeknya merugikan rakyat,” kata mantan anggota KPU ini.    

“Sistem pemilu juga tidak konsisten dengan kedaulatan rakyat ketika pemilihan presiden dipilih secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945. Sementara ada wacana pemilihan kepala daerah cukup di DPRD seperti sistem parlementer keliru. Seharusnya pemilihan kepada daerah juga tetap secara langsung. Wong rakyatnya sama.”

Menurut dia, penyelenggaraan pemilu serentak bisa menjadi solusi untuk mengubah sistem pemilu saat ini. Namun, perlu ada pemisahan antara pemilu nasional untuk memilih presiden, DPR, DPD dan pemilu lokal untuk memilih anggota gubernur/bupati dan DPRD. Sistem ini dapat menciptakan sistem presidensial yang efektif karena pejabat eksekutif terpilih dan mayoritas anggota DPR/DPRD terpilih berhasil menyepakati kebijakan publik nasional.

“Ini dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa mengurangi suara sah terbuang dan menunjang pelaksanaan otonomi seluas-luasnya sesuai amanat Pasal 18 ayat (5) UUD 1945,” katanya.

Namun, dia mengeluh putusan MK terkait pemilu serentak yang tidak menentukan pemilihan kepala daerah secara serentak, padahal MK bisa menggunakan metode penafsiran sistematis. Dia mempertanyakan mengapa MK hanya memutus pemilu serentak hanya untuk presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

“Pemerintahan daerah terkait erat dengan sistem pemilihan kepala daerah, bukankah MK mengetahui pemilihan anggota DPRD bagian dari sistem pemerintahan daerah? Mungkin karena Effendi Gazali dalam permohonannya tidak menyebut pemilihan kepala daerah,” katanya.

Kodifikasi
Terkait adanya putusan MK itu, Saldi mengusulkan agar ada kompilasi perundang-undangan yang semua jenis pemilu termasuk mengatur sengketa dan sanksinya. Sebab, saat ini semua yang terkait dengan pemilu diatur dalam berbagai undang-undang, seperti UU Pemilu Legislatif, UU Pilpres, UU Pemerintahan Daerah termasuk cara penyelesaian sengketa pemilu berbeda-beda.

“Bayangan saya semua jenis pemilu seperti pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilu kepala daerah itu akan ditampung dalam UU Pemilu seperti KUHP (kodifikasi). Ini akan menjadi salah satu output dalam pertemuan ini,” katanya.

Dia berharap setelah pelantikan presiden dan wakil presiden baru pada Oktober 2014, paling lambat awal tahun depan sudah dipersiapkan desain undang-undang pemilu yang baru. Presiden dan DPR baru bisa membuat kesepakatan awal RUU terkait desain sistem pemilu yang baru. Nanti, substansinya bisa diisi orang-orang yang ahli di bidangnya.

“Ini mesti menjadi prioritas utama mereka untuk mempersiapkannya. Dengan UU Pemilu yang baru itu kita bisa menerapkan hingga lima enam pemilu berikutnya tanpa perlu mengubahnya setiap lima tahun sekali,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait