Perlu Regulasi Pencegahan Perilaku Asusila di Transportasi Publik
Terbaru

Perlu Regulasi Pencegahan Perilaku Asusila di Transportasi Publik

Pelaku tindak pidana pelecehan seksual fisik dan non fisik bisa dijerat Pasal 5 dan Pasal 6 UU TPKS.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Praktik pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi belakangan marak terjadi, tak hanya di lingkungan pendidikan, tapi juga di kendaraan umum atau tranportasi publik. Untuk itu, penting membangun regulasi sistem pencegahan dan perlindungan dari tindakan asusila bagi penumpang di kendaraan umum.

“Kita harus akui regulasi di sektor transportasi belum optimal mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang. Idealnya Kementerian Perhubungan sudah mulai merumuskan regulasi untuk mencegah dan melindungi penumpang dari pelecehan seksual agar standarnya sama di semua daerah dan berlaku secara nasional,” usul anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris melalui keterangannya, Kamis (21/7/2022).

Ia mengatakan transportasi umum faktanya telah menyatu dengan keseharian masyarakat yang mesti menjamin kenyamanan, selamat, terintegrasi, dan tarif terjangkau termasuk aman dari berbagai tindakan pelecehan seksual. Untuk itu, regulasi sektor transportasi untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual terhadap penumpang menjadi penting yang mesti segera dirumuskan dan implementasikan di lapangan.

Tentunya, perumusan dan pembuatan regulasi pencegahan dan perlindungan bagi penumpang transportasi umum harus berbasis meaningful participation dengan pelibatan berbagai elemen masyarakat. Seperti melibatkan komunitas pengguna angkutan umum, lembaga pemberdayaan dan advokasi perempuan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus terhadap isu pelecehan seksual, aparat penegak hukum, hingga operator angkutan umum.

“Pelibatan penegak hukum untuk memastikan membawa kasus pelecehan dan kekerasan seksual di transportasi umum ke ranah hukum. Terutama melalui UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai acuan.”

Senator asal DKI Jakarta itu melanjutkan fenomena pelecehan seksual di transportasi umum harus diatur dari hulu hingga hilir. Seperti mengatur kewajiban operator menggencarkan kampanye melawan pelecehan seksual, mengajak masyarakat jangan takut melapor. Kemudian sosialisasi ancaman sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual serta upaya mitigasi lainnya. Seperti pemasangan CCTV di transportasi umum massal. Sedangkan dari sisi hilir, memastikan kasus pelecehan seksual di bawa ke ranah hukum dengan jeratan UU TPKS.

Dia melihat praktik pelecehan seksual di transportasi umum biasanya non fisik dan fisik. Pelecehan seksual non fisik, seperti gerak tubuh atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan korban. Dalam Pasal 5 UU 12/2022 mengatur pelecehan seksual non fisik diancam dengan pidana 9 bulan penjara dan denda paling banyak Rp10 juta. Sementara untuk pelecehan fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 6, pelaku dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda hingga Rp300 juta.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait