Perlu Standar Kompetensi Penasihat Hukum Saat Dampingi Tersangka yang Diancam Pidana Mati
Terbaru

Perlu Standar Kompetensi Penasihat Hukum Saat Dampingi Tersangka yang Diancam Pidana Mati

RKUHAP harus menjamin adanya pendampingan oleh penasihat hukum secara optimal baik di dalam proses peradilan maupun di luar proses peradilan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Tak kalah penting, soal akses penasihat hukum kapanpun pada seluruh tingkat peradilan, grasi hingga eksekusi. Merujuk Pasal 104 ayat (1) draf RKUHAP versi 2012, hanya membatasi akses terhadap penasihat hukum pada saat hari kerja. Karenanya, pengaturan tersebut berpotensi besar menyebabkan orang terancam pidana mati kehilangan akses pendampingan hukum yang maksimal.

“Ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak fair trial ketika penangkapan misalnya dilakukan pada selain hari kerja,” kata dia.

Karena itu, Iftitahsari mendorong RKUHAP mengatur penguatan akses terhadap penasihat hukum mesti dipastikan tersedia 7 hari/24 jam agar orang terancam pidana mati dapat mengakses hak atas pendampingan hukum kapanpun secara maksimal.

Selain itu, dalam Pasal 20 RKUHAP versi 2012 mengatur pemeriksaan tersangka oleh penyidik, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan melihat dan mendengar pemeriksaan. Tapi, dalam perkara orang yang terancam pidana mati semestinya terdapat rumusan yang lebih ketat yakni terhadap setiap pemeriksaan penyidik, orang yang diancam dengan pidana mati wajib didampingi secara langsung oleh penasihat hukum.

Baginya, dalam mengakomodir standar perlindungan hak yang lebih tinggi bagi orang terancam pidana mati, RKUHAP harus menjamin adanya pendampingan oleh penasihat hukum secara optimal sepanjang proses peradilan dan di luar proses peradilan. Seperti ketika mengajukan permohonan grasi dan jelang pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.

Sementara Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Ichsan Zikry berpandangan, jaminan perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa menjadi menjadi kebutuhan bagi negara dalam menjaga integritas penegakan hukum.

Terdapat dua isu besar terkait jaminan perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa. Pertama, dalam hukum acara mengatur hak tersangka/terdakwa. Tapi sayangnya tidak dijamin dengan kejelasan prosedur. Alhasil, hak-hak tersangka/terdakwa tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Kedua, hak-hak tersangka/terdakwa belum sesuai dengan standar universal. Bahkan belum terakomodir dalam hukum acara secara maksimal.

“Dua faktor ini menjadi penghambat bagi pihak tersangka/terdakwa dan penasihat hukum, maupun hak-hak yang telah dijanjikan. Tentunya dampaknya bukan hanya pelanggaran hak bagi tersangka, tapi juga berdampak serius bagi outcome dalam pembelaannya,” ujarnya.

Baginya, gagasan pendampingan hukum yang efektif tabu di Indonesia atau tidak memiliki gambaran soal pendampingan hukum yang efektif. Dia melihat terdapat kendala teknis dalam memenuhi hak tersangka/terdakwa karena aturan yang ada belum jelas dan lengkap sampai level teknis tentang bagaimana cara menerapkannya.

Hukum acara belum mengakomodir standar perlindungan hak yang universal. Karena itulah, penting menjadi catatan bersama soal jaminan perlindungan hak semestinya mengatur hingga hal-hal bersifat teknis. Seperti bagaimana hak itu diperoleh, kapan hak itu dapat diakses, siapa yang berkewajiban memenuhi hak tersebut, dan apa konsekuensi dari pelanggarannya.

Tags:

Berita Terkait