Perlukah Indonesia Memperjuangkan Kepentingan atas Orbit Geostasioner?
Kolom

Perlukah Indonesia Memperjuangkan Kepentingan atas Orbit Geostasioner?

Perjuangan Indonesia melalui forum UNCOPUOS layak terus didukung, terutama pada masa transformasi di mana LAPAN kini terserap dalam BRIN.

Bacaan 5 Menit
Kolase Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Yaries Mahardika Putro (kanan). Foto: Istimewa
Kolase Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Yaries Mahardika Putro (kanan). Foto: Istimewa

Orbit Geostasioner (Geostationary Orbit atau GSO) merupakan satu orbit yang dapat digunakan sebagai lintasan operasi satelit selain orbit bumi rendah (Low Earth Orbit atau LEO), orbit bumi menengah (Medium Earth Orbit atau MEO), hingga orbit sangat elips (Highly Elliptical Orbit atau HEO). Di antara keempat orbit, GSO memiliki perbedaan dan karakteristik unik.

GSO terletak pada ketinggian 35.871 kilometer serta tepat di atas ekuator Bumi. Keunikan ini menjadikan satelit yang berada di GSO seolah diam karena perioda orbit satelit mengelilingi Bumi sama dengan perioda rotasi Bumi. Hal ini memberikan keuntungan bagi penyedia layanan satelit yang menempatkan satelitnya di GSO dikarenakan akan menghemat biaya operasional serta memberikan tingkat akurasi yang tinggi sehubungan data transferring dari satelit ke Stasiun Bumi (ground station). Pada umumnya fungsi satelit yang mengorbit di GSO ialah untuk kepentingan telekomunikasi dan cuaca.

Letak GSO yang berada tepat di atas ekuator Bumi tentunya akan memberikan manfaat dan keuntungan tersendiri bagi negara-negara yang berada di bawah garis khatulistiwa seperti Brazil, Ekuador, Indonesia, Kenya, Kolumbia, Kongo, Uganda dan Zaire. Hal ini mendorong negara-negara tersebut bernegosiasi satu sama lain agar mendapatkan hak spesial (special rights) dalam penggunaan GSO berupa hak berdaulat (sovereign rights).

Baca juga:

Hasil negosiasi sekitar lima dekade lampau adalah terbentuknya instrumen hukum tidak mengikat (non-binding legal instrument) sebagaimana dikenal dengan Deklarasi Bogota 1976. Tujuan utama dibentuknya Deklarasi ialah memberikan hak berdaulat (soveriegn rights) dengan suatu kekhususan kepada negara khatulistiwa dalam penggunaan GSO.

Berdasarkan Deklarasi ini, negara-negara khatulistiwa mengklaim hak berdaulat terhadap GSO yang merupakan sumber daya alam – turut mengacu kepada frekuensi -- bersifat terbatas. Dasar atas klaim tersebut merujuk kepada Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 2692 (XXV) tahun 1970 tentang “permanent sovereignty over the natural resources of developing countries and expansion of internal accumulation sources for economic developments” sebagaimana menyatakan “the right of the peoples and of nations to permanent sovereignty over their wealth and natural resources that must be exercised in the interest of their national development and of the welfare of the people of the nation concerned”.

Hal ini menjadi suatu polemik di mana Pasal 2 the Outer Space Treaty 1967 menetapkan larangan kepemilikan nasional di antariksa dalam bentuk apapun termasuk klaim kedaulatan. Pasal 4 the Outer Space Treaty 1967 kemudian secara tegas menyatakan bahwasannya antariksa sebagai wilayah bagi seluruh umat manusia (province of all mankind).

Meskipun magna carta hukum antariksa berkata demikian, baik perjuangan maupun pembahasan terhadap pemberian hak spesial kepada negara-negara khatulistiwa akan pemanfaatan GSO masih tetap dibahas dalam forum subkomite hukum maupun teknis dan scientific United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) hingga kini. Sejak tahun 1996 setidaknya sudah ada beberapa negara termasuk Indonesia yang mengajukan pembahasan GSO pada forum UNCOPUOS. Meskipun pada tahun 2002 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi the Outer Space Treaty 1967 melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2002, hal ini tidak menyurutkan upaya dalam memperjuangkan perihal GSO.

Tiga tahun setelah meratifikasi, Pemerintah Indonesia kembali menyampaikan gagasannya terhadap penggunaan GSO dalam UNCOPUOS Technical and Scientific Subcommittee. Hal-hal terkait pencegahan penggunaan GSO dari aktivitas bersifat tidak damai, perlindungan terhadap satelit milik Indonesia dari segala bentuk ancaman dan serangan dari pihak ketiga, serta jaminan terhadap penggunaan jangka panjang (long-term use) di GSO disampaikan dan oleh serta menjadi perhatian delegasi Indonesia.

Pada tahun 2016 Pemerintah Indonesia kembali menyampaikan gagasan dalam forum yang sama dengan menyatakan bahwasannya rezim penggunaan dan pemanfaatan GSO saat ini lebih memberikan keuntungan kepada negara maju dibanding negara berkembang. Hal ini didasari dengan fakta selama ini bahwasannya pemanfaatan GSO dilakukan berdasarkan prinsip “first come, first served”; sehingga tidak dapat dipungkiri spacefaring nations atau negara-negara yang memiliki kemampuan lebih dalam teknologi dan kegiatan keantariksaan tampil sebagai pihak yang diuntungkan. Maka dari itu, sejak Deklarasi Bogota 1976 hingga UNCOPUOS Legal Subcommittee 2021 Pemerintah Indonesia tetap konsisten memperjuangkan pemanfaatan GSO sebagaimana pro-kepentingan negara berkembang.

Ratifikasi the Outer Space Treaty 1967 berarti mengakui bahwasannya antariksa, termasuk GSO, merupakan province of all mankind. Namun, mengingat status GSO sebagai sumber daya alam terbatas sesuai ketentuan Pasal 44 Konstitusi International Telecommunication Union (ITU) maka seyogianya penggunaan dan pemanfaatan GSO harus menjunjung prinsip keadilan. Wilayah abu-abu antara tujuan the Outer Space Treaty 1967 dengan ketentuan Pasal 44 Konstitusi ITU ialah pasal tersebut hanya menyatakan GSO harus digunakan secara rasional, efisien, dan ekonomis. Dengan kata lain, status quo berarti kepentingan negara berkembang akan akses GSO tidak terjamin.

Sebagai province of all mankind, pemanfaatan GSO seharusnya tidak hanya didominasi oleh spacefaring nations tetapi juga memberikan akses bagi negara berkembang yang mampu menguasai teknologi. Minimnya kapasitas teknologi yang mumpuni serta dana negara berkembang dalam melakukan eksplorasi antariksa menjadi justifikasi dominasi GSO oleh spacefaring nations.

Prinsip special and differential treatment dapat dijadikan pendekatan baru sehubungan pemanfaatan GSO. Prinsip sebagaimana telah diimplementasikan dalam World Trade Organization (WTO) bertujuan memberikan sejumlah hak khusus kepada negara berkembang sehingga mendorong negara maju memperlakukan negara berkembang lebih baik. Negara berkembang memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dibanding negara maju, maka WTO berupaya mengakomodasi dengan memberikan lebih banyak fleksibilitas bagi negara berkembang.

Prinsip special and differential treatment menghadirkan kewajiban bagi negara anggota WTO untuk melindungi kepentingan negara berkembang; menerapkan kebijakan dan komitmen lebih fleksibel seperti larangan penerapan timbal balik mengacu negosiasi perdagangan yang dilakukan dengan negara berkembang; serta memberikan bantuan teknis kepada negara berkembang oleh negara maju dalam mencapai tujuan WTO.

Dalam kaitannya dengan gagasan penerapan special and differential treatment pada GSO, prinsip ini dirancang untuk mendorong negara berkembang agar dapat mengembangkan teknologi keantariksaan. Berbicara teknologi tentu tidak dapat dilepaskan dari rezim multilateral export control sebagaimana turut menjadi faktor penentu. Hal ini akan membatasi sejauh mana negara maju akan memberikan bantuan teknis atau alih teknologi kepada negara berkembang yang tidak tergabung dalam rezim tersebut.

Pada akhirnya, prinsip special and differential treatment akan memberikan kesempatan lebih bagi negara berkembang dalam mengakses slot GSO. Konsep daftar tunggu ITU terkait slot GSO perlu ditinjau ulang agar negara berkembang sebagaimana umumnya minim dana memiliki kesempatan kedua dalam mempertahankan slot orbit; atau kesempatan lebih cepat memperoleh slot GSO jika urgensi dapat dibuktikan. Indonesia sendiri telah merasakannya pada kasus satelit Satkomhan orbit 123.

Maka perjuangan Indonesia melalui forum UNCOPUOS layak terus didukung, terutama pada masa transformasi di mana Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) kini terserap dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Indonesia memiliki kesempatan untuk tercatat dalam sejarah sebagai negara yang memperjuangkan dan mewujudkan status antariksa sebagai province of all mankind.

*)Ridha Aditya Nugraha adalah Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya dan Yaries Mahardika Putro adalah Dosen Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Fakultas Hukum Universitas Surabaya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait