Perlunya Keberpihakan Pada Konsumen Produk Halal di Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Utama

Perlunya Keberpihakan Pada Konsumen Produk Halal di Aturan Turunan UU Cipta Kerja

Diperlukan pengawalan dan pengawasan yang kuat dalam penyusunan aturan turunan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Undang-undang Cipta Kerja mengatur persoalan produk halal. Sebelum dimasukkan ke dalam undang-undang tersebut, persoalan halal diatur dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Namun, pasal 4A UU Cipta Kerja yang mengatur tentang halal dinilai berpotensi melanggar perlindungan konsumen, terutama UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam Pasal 4A UU Ciptaker terdapat dua ayat yang pada dasarnya mengatur tentang sertifikasi halal untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dalam pasal itu disebutkan jika kewajiban sertifikat halal bisa didasarkan pada pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil, atau self declaration.

Pasal 4A:

  1. Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku Usaha Mikro dan Kecil.
  2. Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.

Menurut Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, self declaration sangat berisiko melanggar hak-hak konsumen. Tulus sepakat jika pemerintah berupaya memberikan kemudahan bagi UMKM, tetapi dengan pernyataan halal yang didasarkan pada pernyataaan diri sendiri akan menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. (Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Bisa Perkuat Produksi Pangan Domestik)

“Walaupun pernyataan itu berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH, tetapi bagaimana pengawasannya dan ini salah satu pasal krusial,” kata Tulus dalam sebuah diskusi daring, Rabu (21/10).

Untuk itu, Tulus meminta semua pihak untuk mengawal perumusan peraturan turunan. Karena menurutnya pasal tersebut harus memiliki aturan turunan yang kuat, disertai dengan pasal yang kuat pula.

“Maksudnya memberikan kemudahan bagi pelaku usaha UMKM setuju, ada pembinaan setuju tetapi bagaimana dengan pembinaan aspek perlindungan konsumen dengan segala plus minus yang dimiliki oleh sektor UKM. Kebijakan halal urgent untuk melindungi konsumen di era digitalisasi ekonomi,” imbuhnya. (Baca: Sanksi Administrasi Pajak di UU Cipta Kerja Disesuaikan dengan Tingkat Suku Bunga)

Kemudian, Tulus menilai desentralisasi proses pengurusan sertifikasi halal yang diatur dalam UU Ciptaker menjadi hal yang penting dan positif. Tetapi RUU Ciptaker juga berpotensi menjadi ancaman bagi perlindungan konsumen untuk produk halal. Sehingga diperlukan harmonisasi untuk substansi UU JPH agar ramah terhadap pelaku usaha, tetapi tidak mereduksi perlindungan konsumen.

“RUU Ciptaker menjadi ancaman untuk perlindungan konsumen terkait prroduk halal sehingga ini harus diwaspadai. Sebenarnya maksudnya baik untuk memberikan kemudahan, namun kemudian bisa terjadi pelanggaran hak konsumen. Maka diperlukan harmonisasi untuk substansi UU JPH tanpa tidak mereduksi perlindungan konsumen,” jelasnya.

Tidak Gegabah

Sementara, Anggota Badan Legislasi DPR, Bukhori Yusuf, meminta agar pemerintah mengedepankan keberpihakan pada konsumen halal dalam merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait UU Cipta Kerja, khususnya pada bagian Jaminan Produk Halal.

"Saya ingin kembali mengingatkan kepada pemerintah agar aturan turunan yang tengah disusun itu mencerminkan keberpihakan yang nyata bagi konsumen produk halal,” ujar Bukhori seperti dikutip Antara, Rabu (21/10).

Anggota DPR dari Fraksi PKS itu meminta pemerintah memperhatikan bagaimana aspek perlindungan konsumen produk halal. Sebab, penghapusan klausul sanksi 'penarikan barang dari peredaran' harus dikompensasi dengan wujud sanksi yang tegas, jelas, dan tidak menimbulkan multitafsir di aturan turunan.

“Pemerintah tidak boleh gegabah dalam menyusun aturan turunan dari UU Cipta Kerja, khususnya perihal jaminan produk halal. Pasalnya, setelah kami melakukan penyisiran terhadap versi 812 halaman, kami menemukan sejumlah kelemahan substansi dari UU tersebut, khususnya terkait regulasi sanksi bagi pelanggaran terhadap kewajiban registrasi halal,” ujarnya.

UU Cipta Kerja turut mengubah salah satu ketentuan di UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, tepatnya di pasal 48. Pada mulanya, pasal 48 UU Jaminan Produk Halal berbunyi: (1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

Namun dalam pasal 48 versi UU Cipta Kerja klausul 'berupa penarikan barang dari peredaran' dihapus sehingga berubah menjadi: (1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Anggota Komisi VIII DPR itu menilai pencantuman wujud sanksi administratif yang konkret menunjukkan ketegasan dan keberpihakan Negara terhadap pengadaan produk impor yang halal. Sebaliknya, penghapusan wujud sanksi tersebut bisa membuat kebijakan registrasi halal produk impor menjadi lebih permisif terhadap pelanggaran kewajiban registrasi.

Bukhori mengatakan penyelenggaraan jaminan produk halal sejatinya bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk. Dalam upaya mendukung hal tersebut, maka disusun juga regulasi mengenai wujud sanksi yang jelas apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan oleh pelaku usaha.

"Dengan demikian, keterangan terkait wujud konsekuensi hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan (pasal 48 UU JPH) adalah dalam rangka, semaksimal mungkin, menutup celah bagi potensi terjadinya pelanggaran kewajiban registrasi," kata dia.

Selain itu, dia menilai pencantuman wujud sanksi juga sebagai upaya menyampaikan pesan yang kuat kepada pelaku usaha dan memberikan kepastian hukum bagi konsumen yang beragama Islam.

Apabila aspek itu tidak diindahkan, kata dia, maka perlindungan konsumen Indonesia dalam memperoleh produk impor yang halal bisa terabaikan. "Lebih jauh, Negara menjadi tidak berpihak pada konsumen dalam mendapatkan produk halal jika wujud sanksi yang jelas dihapuskan," kata dia.   

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, menyatakan dalam beberapa hal, hasil final dari RUU Cipta Kerja terkait Jaminan Produk Halal mengalami perbaikan, khususnya dalam hal fatwa halal yang tetap menjadi kewenangan tunggal MUI.

Namun secara keseluruhan, terdapat beberapa isu yang selama ini ramai diperdebatkan, yakni ketentuan mengenai Sertifikasi Auditor Halal, Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Ketentuan Kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Halal Internasional serta Halal Self Declare atau pernyatasn sendiri kehalalan produk khusus UKM dan  Sistem Jaminan Halal memposisikan  BPJPH menjadi Badan yang super body, sekaligus  menempatkan  MUI seperti menjadi subordinat atau  bawahan BPJPH dalam kontek Pelaksanaan Sistem Jaminan Halal.

“Semua kewenangan MUI yang dulu telah diatur di dalam UU JPH, yakni UU No.33 Tahun 2014 telah habis dilucuti,” katanya kepada Hukumonline, Rabu (21/10).

Ikhsan menilai jika dalam konteks UU Cipta Kerja pada klaster Jaminan Produk Halal tersebut menggunakan pendekatan yang humanis dan tetap takdzim kepada MUI sebagai representasi ulama dikedepankan sebagai hal yang sangat penting bagi personal yang ada di BPJPH, maka dia meyakini dapat memuluskan implementasi undang-undang tersebut.

Akan tetapi bila yang terjadi justru kekakuan dan kebekuan seperti yang ditunjukkan BPJPH selama 3 tahun terakhir ini, maka timbul kekhawatiran jika UU Omnibus pada kluster Jaminan Produk Halal ini semakin sulit untuk dilaksanakan.

Terkait Self Declare, Ikhsan mengatakan hal ini bertentangan dengan UU JPH. Namun UU Cipta Kerja justru menghalalkan mekanisme tersebut, yang pada dasarnya melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ hingga tingkat Kecamatan di seluruh Indonesia.

“Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam kluster Perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah Hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama,” tegasnya.

Seperti diketahui, pemerintah terus berkomitmen dalam memperkuat sektor UMKM halal dan mendorong pengembangan bisnis produk halal UMK melalui penyederhanaan dan percepatan proses perizinan, fasilitasi biaya sertifikasi halal bagi UMK yang ditanggung oleh pemerintah, dan mekanisme self-declare bagi pelaku UMK untuk produk tertentu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Badan BPJPH.

Selain itu, pemerintah juga berupaya menjamin kemudahan bisnis produk halal melalui penetapan kehalalan produk oleh MUI di provinsi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh yang dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. Perluasan Lembaga Pemeriksa Halal juga dilakukan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan (ormas), Perguruan Tinggi Negeri, Perguruan Tinggi Swasta di bawah lembaga keagamaan atau Yayasan Islam.

“Kolaborasi antara pemerintah, UMKM, swasta, dan akademisi maupun ormas amat dibutuhkan untuk menciptakan terobosan solusi terbaik dalam mengakselerasi pengembangan produk halal dan transformasi digital di Indonesia,” ucap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Tags:

Berita Terkait