Perlunya Reformasi Pencatatan Kelahiran di Indonesia
Riris Katharina dan Poltak Partogi Nainggolan*)

Perlunya Reformasi Pencatatan Kelahiran di Indonesia

Menurut catatan UNICEF, pada tahun 1998, tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia hanya ada 50-69 persen. Belum terungkap data secara nasional hingga saat ini.

Bacaan 2 Menit

 

Kedua, Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1983, yang menarik kewenangan pencatatan sipil dari Depkeh ke Depdagri. Ia memperluas fungsi, tak hanya mencakup tiga kejadian vital menyangkut kelahiran, perkawinan, dan kematian, tapi juga masalah pengadopsian, pengakutan pengangkatan anak, dll. Keppres ini juga memberikan mandat kantor catatan sipil untuk menyiapkan data kependudukan dan warga negara. Namun, pelaksanaan Keppres ini dinilai gagal, sebab pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang belum mendapat pelayanan pencatatan sipil, selain juga hal itu masih asing bagi masyarakat.

 

Ketiga, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW. Hingga saat ini belum ada amandemen terhadap UU tersebut. Keempat, Keputusan Mendagri Nomor 474/1985, yang pada tahun 1986, Mendagri mendapat mandat penuh untuk menginstruksikan Akta Kelahiran Dispensasi. Sehingga, semua anak yang lahir sampai dengan bulan Desember 1985, dan belum mendapat Akta Kelahiran, dapat dibuatkan Akta Kelahiran dengan persyaratan yang lebih ringan. Sebelum tahun 1986, yang tak termasuk golongan Eropa, Tionghoa, Pribumi Non-Kristen Kelas Atas, dan Pribumi Kristen, pencatatan kelahirannya harus melalui pengadilan. Tercatat, dalam tahun ini terjadi kenaikan angka pencatatan kelahiran.

 

Selanjutnya, pada tahun 1989, dikeluarkan lagi Keputusan Mendagri tentang Akta Kelahiran Istimewa. Semua yang lahir dari 1 Januari 1986 sampai dengan saat itu dan belum tercatat akan diberikan dispensasi. Terakhir, pada tahun 1997, dikeluarkan keputusan Mendagri tentang administrasi pencatatan sipil dalam rangka sistem informasi manajemen kependudukan untuk menindaklanjuti Keppres No. 12 Tahun 1983. Selama tahun ini terjadi peningkatan pencatatan kelahiran di Indonesia. Tapi, pencatatan kelahiran belum maksimal. 

 

Peran Parlemen

Dari perspektif legislatif, ada beberapa hal bisa dilakukan. Pertama, dari pelaksanaan fungsi legislasi, parlemen dapat mendorong reformasi peraturan (perundang-undangan). Kedua, dari pelaksanaan fungsi pengawasan, parlemen dapat lebih mengawasi pelaksanaan setiap undang-undang yang dilaksanakan pemerintah. Ketiga, dalam pelaksanaan fungsi anggaran, parlemen dapat membantu mengatasi masalah anggaran dalam pelaksanaan pencatatan kelahiran melalui penyusunan APBN.

 

Diakui, hingga saat ini parlemen belum memberikan kontribusi aktual atas perkembangan hukum pencatatan kelahiran di Indonesia. Konvensi Hak Anak yang mengatur pencatatan kelahiran (Pasal 7 dan pasal 8) hanya diratifikasi Indonesia dengan Keppres No. 36/1990, dan berlaku di Indonesia sejak 5 Oktober 1990. Padahal, di Indonesia dikenal hirarki perundang-undangan, dengan yang  tertinggi Konstitusi (UUD 1945), diikuti UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda. Ini berarti bahwa kedudukan Keppres berada di bawah UU, sekalipun berdasarkan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Hubungan Luar Negeri mengatur ada beberapa kategori konvensi yang dapat diratifikasi melalui UU atau Keppres. Namun, jika melihat bahwa konvensi CEDAW diratifikasi dengan UU, maka sudah selayaknya Konvensi Hak Anak juga diratifikasi dengan UU, atau dinaikkan status hukumnya menjadi UU.

 

Pada saat ini, parlemen tengah membahas RUU Administrasi Kependudukan, yang turut mengatur pencatatan kelahiran di Indonesia. Diketahui, hingga saat ini masih ada perdebatan mengenai tepat tidaknya penempatan aturan pencatatan kelahiran dalam UU Administrasi Kependudukan atau KUHP, dalam hal mana masalah kelahiran terkait dengan hukum perdata.

 

Pencatatan sipil khususnya yang terkait dengan pencatatan kelahiran sangat penting, untuk memastikan identitas diri (nama dan kewarganegaraan) sebagai subyek hukum, dan memastikan fungsi atau status keperdataan seseorang terkait dengan kejadian vital yang dihadapi individu (mati, lahir, kawin). Dalam sistem pencatatan sipil modern, kejadian vital ini tak sekedar dicatat atau dikumpulkan semata, tapi juga berguna sebagai data yang dapat dimanfaatkan untuk perencanaan suatu negara. Buku pegangan standar pencatatan sipil di seluruh dunia yang dikeluarkan PBB mengungkapkan terdapat tiga fungsi pencatatan sipil, yaitu untuk standar hukum status seseorang, melindungi hak asasi manusia, dan fungsi statistik.

Tags: