Permenkumham Paralalegal, antara Kuantitas dan Kualitas?
Kolom

Permenkumham Paralalegal, antara Kuantitas dan Kualitas?

​​​​​​​Pemerintah seharusnya menyempurnakan atau merevisi beberapa ketentuan di dalam Permenkumham Paralegal.

Bacaan 2 Menit

 

3. Pelatihan dan sertifikasi paralegal tanpa standarisasi sehingga terkesan asal-asalan

Di dalam Permenkumham Paralegal diatur soal pelatihan[10] serta sertifikasi bagi Paralegal[11]. Adapun Pelatihan paralegal yang dimaksud diselenggarakan oleh:

  1. Pemberi Bantuan Hukum (OBH);
  2. Perguruan tinggi;
  3. Lembaga swadaya masyarakat yang memberikan Bantuan Hukum; dan/atau
  4. Lembaga pemerintah yang menjalankan fungsinya di bidang hukum.

 

Prosedur menyelenggarakan pelatihan paralegal adalah dengan mengajukan permohonan pelatihan paralegal kepada kepala BPHN dengan melampirkan proposal pelatihan paralegal. Kemudian BPHN akan memeriksan permohonan tersebut lalu mengeluarkan keputusannya paling lama 14 (empat belas hari). (lihat Pasal 8 Permenkumham Paralegal). Setelah pelatihan dilaksanakan kepada paralegal, kemudian paralegal mendapatkan sertifikat dari penyelenggara pelatihan. (Pasal 10 Permenkumham Paralegal).

 

Terkait pelatihan serta sertifikasi paralegal, terlihat jelas tidak ada standarisasi dan jaminan mutu peningkatkan kualitas paralegal yang diberikan pelatihan. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

  1. Tidak ada standar yang jelas dan sama, sebab masing-masing penyelenggara dapat membuat materi pelatihannya sendiri. Berbeda dengan Pendidikan Khusus Provesi Advokat yang punya standarisasi (kurikulum) dari Organisasi Advokat.
  2. Tidak ada mekanisme pelaporan kepada BPHN terkait penyelenggaraan Pelatihan Paralegal. Berbeda dengan Organisasi Advokat yang mewajibkan penyelenggara untuk membuat laporan awal dan akhir penyelenggaraan Pendidikan Advokat.[12] Tidak adanya pelaporan akhir pelatihan Paralegal tentu rentan terjadi penyimpangan (manipulasi). Penyelenggara bisa saja tidak pernah melaksanakan pelatihan paralegal dan BPHN tidak akan tahu soal itu sebab tidak diatur kewajiban/keharusan bagi penyelenggara pelatihan paralegal untuk melaporkan hasil pelaksanaan pelatihannya kepada BPHN.
  3. Sertifikasi paralegal bisa diperoleh tanpa harus melalui tes/ujian kompetensi. Berbeda dengan Pendidikan Advokat, calon advokat yang telah mengikuti pendidikan profesi advokat, harus magang terlebih dahulu selama 2 (dua) tahun berturut-turut, sebagai syarat untuk mengikuti ujian profesi advokat guna menilai apakah benar ilmu yang didapat selama pendidikan/pelatihan dan magang advokat benar-benar dipahami. Dan tentu ada standar kelulusannya. Bagi yang tidak memenuhi standar akan dinyatakan tidak lulus dan harus mencoba lagi di ujian advokat yang akan datang.

 

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pelatihan dan sertifikasi paralegal tidak memiliki standarisasi yang jelas, bahkan sangat bisa dimanipulasi, dan terkesan asal-asalan, sehingga kita semua patut bertanya dengan kualitas pelatihan seperti itu (sangat jauh dari standard Pendidikan Profesi Advokat) apakah paralegal qualified memberikan bantuan hukum (litigasi) kepada masyarakat layaknya advokat?

 

4. Diserahkannya pembuatan kode etik paralegal kepada masing-masing Pemberi Bantuan Hukum (PBH) akan membuat tidak adanya standar kode etik yang sama

Pasal 15 Permenkumham Paralegal mewajibkan organisasi bantuan hukum untuk membuat Kode Etik Pelayanan Paralegal[13]. Masalah yang akan muncul dengan diserahkannya pembuatan kode etik paralegal pada masing-masing pemberi bantuan hukum adalah tidak adanya standar kode etik yang sama. Sehingga besar kemungkinan standar etika antara paralegal yang satu dengan yang lain berbeda.

 

Bisa jadi perbuatan paralegal menurut kode etik paralegal pada PBH (A) merupakan pelanggaran kode etik namun belum tentu merupakan pelanggaran etika bagi PBH (B) atau yang lainnya. Bila tidak ada standar yang jelas terkait kode etik bagi paralegal ini maka pada akhirnya masyarakat pencari keadilan yang akan dirugikan, sebab standar kode etik antara satu pemberi bantuan hukum dengan yang lain berbeda-beda.

 

Apalagi bila mengaju pada UU Bantuan Hukum maka adanya standar kode etik yang jelas merupakan hak dari masyarakat miskin pencari keadilan (Penerima Bantuan Hukum) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 UU Bantuan Hukum sebagai berikut,“Penerima bantuan hukum berhak: b. Mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan standar bantuan hukum dan/atau Kode etik advokat.

 

Sehingga dapat dipahami bahwa diserahkannya pembuatan kode etik paralegal kepada masing-masing pemberi bantuan hukum (PBH) akan membuat tidak adanya standar kode etik yang sama, dan pada akhirnya hak masyarakat akan dirugikan.

 

Penutup

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, bahwa diberikannya hak pendampingan secara litigasi kepada paralegal layaknya advokat dianggap tidak tepat. Sebab dari segi sifat (nature) Paralegal lebih merupakan sebagai pihak yang membantu advokat dan lingkup kerjanya lebih kepada kerja-kerja non-litigasi. Di sisi lain hak yang begitu besar tidak diimbangi dengan syarat paralegal yang mumpuni,  pelatihan, sertifikiasi, serta kode etik yang tidak punya standarisasi sehingga potensi besar melanggar dan merugikan hak-hak masyarakat miskin pencari keadilan.

 

Pemerintah seharusnya menyempurnakan atau merevisi beberapa ketentuan di dalam Permenkumham Paralegal yakni berkaitan dengan syarat paralegal yang tentu harus diperketat dengan kualifikasi pendidikan dan pengalaman yang matang, kemudian pelatihan dan sertifikasi yang memiliki pelaporan yang jelas serta uji kompetensi guna memastikan paralegal benar-benar mumpuni, serta harus ada standar kode etik yang sama di setiap PBH. Hal harus dilakukan agar paralegal yang dihasilkan betul-betul qualified dan “tidak asal jadi”.

 

Karena hal yang paling penting perlu diingat adalah jangan sampai ambisi pemerintah untuk jangkauan bantuan hukum sebanyak atau seluas-luasnya (kuantitas) mengabaikan kualitas pemberian bantuan hukumnya. Sebab, bantuan hukum bukan sekadar memberikan bantuan hukum secara formalitas (yang penting ada penasihat hukumnya/paralegal). Namun lebih dari itu, ada hak serta nasib orang lain yang kita perjuangkan di dalam memberikan bantuan hukum, sehingga keadilan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat miskin, buta hukum dan teraniaya.

 

*)Boris Tampubolon, S.H. adalah advokat dan Kepala Divisi Non- Litigasi LBH Mawar Saron

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

 

 

[1] Hukumonline.com diakses tanggal 1 Maret 2018.

[2] binus.ac.id diakses tanggal 1 Maret 2018.

[3] trunity.net diakses tanggal 1 Maret 2018

[4] wikipedia diakses tanggal 1 Maret 2018

[5] wikipedia diakses tanggal 1 Maret 2018

[6] thelawdictionary diakses tanggal 1 Maret 2018

[7] Pasal 12 Permenkumham Paralegal

[8] Pasal 1 ayat 1 UU Advokat

[9] Pasal 1 ayat 2 UU Advokat

[10] Pasal 6 ayat (1) Permenkumham Paralegal

[11] Pasal 10 ayat (1) Permenumham Paralegal

[12] Pasal 5 ayat 1 huruf f Jo Pasal 9 ayat (1) Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia No. 3 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat

[13] Pasal 15 Permenkumham Paralegal

Tags:

Berita Terkait