Perppu Ormas Dinilai Tidak Penuhi Syarat Kegentingan yang Memaksa
Utama

Perppu Ormas Dinilai Tidak Penuhi Syarat Kegentingan yang Memaksa

Perppu sangat ditentukan subjektivitas Presiden. Tetapi seharusnya ada kondisi objektif yang menjadi pertimbangan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Maret 2013 lalu. Mereka pernah menolak RUU Ormas karena dianggap bisa mengembalikan rezim represif seperti di zaman Orde Baru.
Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Maret 2013 lalu. Mereka pernah menolak RUU Ormas karena dianggap bisa mengembalikan rezim represif seperti di zaman Orde Baru.
Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  (Perppu) No. 2 Tahun 2017  tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) Senin (10/7) lalu. Dalam pertimbangannya, Presiden merujuk kewajibannya sebagai Kepala Negara untuk menjaga kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

(Baca juga: Terbitnya Perppu Menuai Kritik).

Perppu ini merupakan lanjutan rencana kebijakan yang sebelumnya telah diumumkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto. Pemerintah ingin membubarkan organisasi kemasyarakatan yang bertentangan dengan asas Pancasila. Salah satu yang disebut-sebut akan dibubarkan kala itu adalah  Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ternyata, langkah yang ditempuh Pemerintah justru tak membubarkan organisasi tertentu secara langsung, melainkan menerbitkan Perppu.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta, Daniel Yusmic, justru mempertanyakan anasir kegentingan yang memaksa sebagai dasar penerbitan Perppu menurut konstitusi UUD 1945. “Kalau saya lihat, Perppu ini sebetulnya tidak memenuhi unsur kegentingan memaksa dalam pasal 22 UUD 1945,” kata pria yang meraih gelar doktor ilmu hukum dengan mengkaji masalah Perppu.

(Lihat juga:  Massa Hizbut Tahrir Tolak RUU Ormas).

Daniel menjelaskan jika melihat pertimbangan yang digunakan, Presiden lebih merujuk tafsir Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-UI/2009, yang meyinggung tentang kegentingan memaksa. “Harus jelas ada kepentingan utama negara yang sudah terancam yang harus diselamatkan,” lanjutnya.

Daniel melihat hanya ada penambahan kewenangan untuk mengisi kekosongan hukum UU Ormas. Memang, ada kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 kepada Presiden untuk menetapkan Perppu. Namun, kewenangan ini dibatasi persyaratan kegentingan yang memaksa. “Jadi kalau tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa, maka Presiden itu tidak boleh menetapkan Perppu,” katanya.

Menurutnya, menggunakan Perppu juga sangat beresiko karena sifatnya yang sangat super power. “Maka itu disebut dengan constitutional dictatorship,” katanya.

(Baca juga: PP Organisasi Kemasyarakatan Diteken Presiden, Begini Isinya).

Bahkan dalam banyak literatur hukum ketatanegaraan tentang produk hukum jenis Perppu, Daniel menyebutkan hakikat dari Perppu adalah dekrit. Hal ini bisa ditelusuri pada redaksi asli yang digunakan Soepomo dalam UUD 1945 bahwa istilah yang digunakan adalah membentuk undang-undang (regeling) dan menetapkan Perppu (beschikking). “Itu (Perppu) bersifat beschikking, esensi mengatur (regeling) itu nggak ada,” ujarnya.

Dasar konstitusionalnya adalah UUD 1945 pasal 22 ayat (1) yang berbunyi:"Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-UI/2009, ditafsirkan tiga persyaratan keadaan yang harus dipenuhi dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. “Sejak putusan itu, MK memberikan kewenangan yang sangat besar (kepada Presiden) karena itu adalah hak konstitusional yang subjektif,” lanjutnya.

Berdasarkan putusan MK tersebut, diserahkan subjektivitas pribadi Presiden untuk mengukur apakah ketiga persyaratan kegentingan memaksa tersebut telah terpenuhi. Artinya, Presiden tidak memerlukan persetujuan siapapapun untuk menetapkan Perppu secara seketika ketika telah meyakini terjadi kegentingan yang memaksa.

Nantinya baru pada masa sidang DPR yang berikutnya Perppu ini akan dinilai apakah mendapat persetujuan DPR untuk dilanjutkan menjadi UU atau ditolak. Jika ditolak, maka Perppu itu harus dicabut. Prosedur ini diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 serta UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Ketika sudah ditetapkan, langsung memiliki daya laku dan daya ikat,” tambah Daniel.

(Baca juga: Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic).

Daniel melihat ada kelemahan pada norma hukum dalam bentuk Perppu yang diatur dalam UUD 1945. Pertama, Perppu masih harus menunggu masa persidangan DPR yang berikutnya sejak Perppu ditetapkan untuk dinilai oleh perwakilan rakyat. Padahal setidaknya bisa terjadi jeda hingga 1 bulan  setelah masa reses untuk menunggu DPR kembali bersidang. Sedangkan esensi Perppu sendiri hanya bersifat dasar hukum sementara untuk mengembalikan kegentingan memaksa menjadi normal sesegera mungkin. Apabila ternyata Perppu ditolak, maka harus segera dicabut. “Jadi jangan sampai membiarkan kehidupan negara itu berjalan dengan dasar Perppu ya, itu nggak baik itu,” ujar Daniel.

Ia mencontohkan di Brazil, dalam 5 hari sejak produk hukum semacam Perppu diundangkan, parlemen negara itu segera bersidang untuk memutuskan apakah Perppu diterima atau ditolak. “Harus ada argumentasi yang kuat dalam diktum (Perppu),” kata Daniel lagi.

Kelemahan lainnya, UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa Perppu harus dicabut jika ditolak tanpa mengatur apakah secara otomatis Perppu kehilangan keberlakuannya. Jika ditolak pun, tidak jelas apakah UU yang digantikan sebelumnya oleh Perppu akan kembali berlaku atau tidak. Mengacu pada Korea Selatan, Daniel mencontohkan disana UU yang digantikan Perppu otomatis berlaku saat Perppu dicabut.

Untuk memahami konstruksi kegentingan yang memaksa, menurut Daniel dapat dilihat dalam bagian pertimbangan pada Perppu. Sebuah Perppu idealnya dibuat dalam keadaan darurat untuk segera mengembalikannya menjadi normal. “Esensi dari undang-undang darurat, fungsinya kan satu: mengembalikan keadaan darurat atau kegentingan memaksa kepada keadaan normal,” ujarnya.

Jika Perppu Ormas dikaitkan dengan pembubaran Ormas HTI, Daniel menilai selama Presiden berkeyakinan bahwa terjadi darurat ideologis atau darurat konstitusional sehingga harus mengubah ketentuan pembubaran ormas tertentu tanpa mekanisme prosedur peradilan, hal itu dimungkinkan. Bahkan awalnya Daniel membayangkan jika Perppu yang akan dikeluarkan Presiden secara eksplisit menyebutkan pembubaran suatu ormas yang sudah dinilai menjadi penyebab kegentingan memaksa. “Bisa saja,” tambahnya.

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan juga dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera,  Eryanto Nugroho mengatakan ada persyaratan yang harus dipenuhi jika ingin membatasi hak atas kebebasan berserikat. Ia Pasal 22 ICCPR (Interational Covenant on Civil and Political Rights ) yang menyebutkan pembatasan atas hak kebebasan berserikat hanya boleh dilakukan sepanjang hal itu diatur undang-undang (prescribed by law), memenuhi satu dari empat kepentingan negara (legitimate state interests yakni national security, public safety, public order, dan the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others); dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (necessary in a democratic society).

Eryanto menilai keterlibatan pengadilan akan lebih independen dalam memeriksa dan memutus layak atau tidaknya HTI dibubarkan. Peran pengadilan bukan untuk mengadili seberapa Pancasilais organisasi HTI, tapi membuktikan perbuatan apa yang dilakukan HTI sehingga perlu untuk dibubarkan. “Penting untuk mengadili perbuatan, bukan mengadili gagasan atau pikiran,” katanya dalam tulisan kolom yang pernah dimuat oleh hukumonline.

Bersifat Pengaturan
Dari sisi substansi, Daniel menilai apa yang terjadi dengan ditetapkannya Perppu Ormas ini akhirnya terlihat hanya sebagai pengaturan (regeling) sepihak karena tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Perppu berisi berbagai penambahan pengaturan kewenangan Pemerintah yang ditambahkan Presiden. “Bahasa nyentriknya, perampasan kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang,” kata Daniel lagi.

Dalam diktum Perppu Ormas ini Presiden berpendapat UU Ormas mendesak untuk segera diubah karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Akibatnya, Presiden menilai terjadi kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif.

UU Ormas juga dinilai Presiden belum menganut asas contrarius actus. Dalam ilmu hukum administrasi negara, asas contrarius actus adalah asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang membatalkan.

Secara khusus juga dipertimbangkan adanya  ormas tertentu yang dinilai Presiden telah menyalahi asas organisasi yang didaftarkan serta disahkan Pemerintah karena kegiatannya bertentangan dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945.

Penjelasan umum Perppu Ormas merujuk artikel 4 ICCPR dan beberapa undang-undang mengenai HAM dimana ada kondisi yang boleh mengecualikan perlindungan hak asasi manusia. Atas dasar pengecualian tersebut, meskipun melanggar hak asasi warga negara untuk berserikat Perppu ini diharapkan menjadi jalan keluar menghadapi keadaan darurat yang dapat mengancam kedaulatan negara akibat kegiatan Ormas tertentu yang telah melakukan tindakan permusuhan.

Permusuhan yang dimaksudkan adalah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial antara anggota masyarakat sehingga dapat mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk dicegah dan diatasi aparat penegak hukum. Oleh karena itu dalam Perppu ini ditambahkan pula ketentuan pidana bagi anggota atau pengurus Ormas yang melanggarnya.
Tags:

Berita Terkait