Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar
Berita

Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar

Ada kekhawatiran pembentukan omnibus law menimbulkan masalah baru karena metode ini lazimnya diterapkan di negara-negara common law. Namun, omnibus law ini bisa menjadi solusi tumpang tindih dalam penataan regulasi di Indonesia baik dalam hubungan hierarki sejajar horizontal maupun vertikal.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Dalam pelaksanaan reforma agraria, Sudarsono berpendapat Indonesia memiliki keunggulan karena sebagian besar tanah dikuasai pemerintah. Baginya, melalui reforma agraria tanah yang dikuasai pemerintah itu tinggal diserahkan kepada kalangan yang berhak menerimanya. “Negara manapun di dunia ini tidak bisa sukses pembangunannya jika tidak menyelesaikan persoalan agraria,” tegasnya.

 

  1. Jimmy Zefarius Usfunan

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan menerangkan konsep omnibus law ini bisa saja hanya menggantikan beberapa pasal di satu regulasi dan saat bersamaan mencabut seluruh isi regulasi lain. Jimmy menyebut omnibus law tak lebih dari sekadar metode dalam menyusun suatu undang-undang. Implementasi omnibus law dalam peraturan perundang-undangan ini lebih mengarah pada tradisi Anglo Saxon Common Law. Seperti Amerika, Kanada, Irlandia, dan Suriname telah menggunakan pendekatan omnibus law atau omnibus bill

 

“Misalnya di Irlandia, tahun 2008, Irlandia mengeluarkan sebuah undang-undang tentang sifat yang mencabut kurang lebih 3.225 undang-undang,” kata Jimmy.

 

Dia memberi tiga catatan. Pertama, pencabutan aturan harus secara cermat. Ketentuan penutup dari omnibus law harus menegaskan soal pencabutan pasal-pasal dari undang-undang terdampak. Jika tidak demikian akan muncul perdebatan konflik norma hukum. Alih-alih menjadi solusi, justru muncul masalah dalam implementasinya.

 

Kedua, setiap undang-undang memiliki dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis yang berbeda. Pertimbangan aspek filosofis, sosiologis, yuridis aturan yang akan dicabut harus cermat. Apalagi yang menyangkut hak konstitusional warga negara. “Misalnya saat meniadakan suatu jenis izin, jangan hanya fokus mempermudah investasi saja. Bisa rentan dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi”, ujarnya.

 

Ketiga, cermat mengidentifikasi persoalan. Apakah masalahnya ada pada tataran substansi hukum, penerapan, atau justru budaya hukum masyarakat. Hanya masalah pada tataran substansi hukum yang membutuhkan pengubahan atau pencabutan. “Namun jika pada aspek penerapan atau budaya hukum masyarakat, yang diperlukan perubahan implementasi kebijakan,” katanya.

 

 

  1. Ahmad Redi  

Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menyebutkan setidaknya ada sembilan negara lain yang sudah menerapkan metode omnibus law sepanjang sejarah. Misalnya Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Sebagian yang ia sebutkan adalah negara-negara tetangga Indonesia di Asia Tenggara.

Tags:

Berita Terkait