Poin Penting Perubahan dalam Revisi UU Perlindungan Konsumen
Terbaru

Poin Penting Perubahan dalam Revisi UU Perlindungan Konsumen

Dimulai dengan merevisi definisi konsumen, hingga penguatan kewenangan lembaga terkait dengan perlindungan konsumen.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul dan Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi dalam diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023). Foto: Istimewa
Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul dan Kepala Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi dalam diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023). Foto: Istimewa

Dua dasawarsa lebih keberadaan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen  di tanah air. Tapi seiring perkembangan zaman dan teknologi, muatan materi UU Perlindungan Konsumen tak lagi mampu memenuhi kebutuhan perlindungan bagi konsumen dalam berkegiatan ekonomi. Upaya merevisi UU 8/1999 pun seolah jalan di tempat. Lantas poin apa saja yang perlu diubah melalui Revisi UU (RUU) Perlindungan Konsumen?.

Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul  mengatakan semula merevisi UU 8/1999 menjadi usul inisiatif pemerintah. Namun seiring berjalannya waktu dan pergantian rezim, tak ada kemajuan siginifikan nasib RUU Perlindungan Konsumen. Pendek cerita, DPR pun mengambil alih usul insiatif RUU Perlindungan Konsumen. Kini, RUU Perlindungan Konsumen sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.

Dia menerangkan, naskah RUU sedang dalam penyusunan. Setidaknya dalam penyusunan draf RUU terdapat beberapa poin penting perubahan. Pertama, soal definisi konsumen. Dalam Pasal 1 angka 2 UU 8/1999 menyebutkan, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Menurutnya, definisi konsumen bakal dievaluasi. Konsumen selama ini didefinisikan secaara inidividu. Tapi ada pula yang mengatasnamakan organisasi. Dia ingat betul di Tahun 1988 silam, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengajukan gugatan terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN) lantaran terjadi pemutusan jaringan listrik. Karenanya, YLKI pun menuntut hak ganti kerugian yang dialaminya.

“Makanya pada saat itu YLKI mengajkan diri dan menetapkan dirinya sebagai konsumen, padahal itu bukan individu. Nah ini contoh yang perlu kita ubah pengertian konsumen yang tidak hanya individu tetapi juga badan atau lembaga itu perlu dimasukkan kategori konsumen,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023).

Baca juga:

Kedua, dalam UU 8/1999 sudah mengalami kemajuan dengan menerapkan sistem beban pembuktian terbalik sebagaimana rumusannya dalam Pasal 19 dan Pasal 22. Setidaknya dua rumusan pasal itu bentuk kemajuan dari model tuntutan ganti kerugian. Tapi, sedianya Indonesia masih tertingga dengan praktik yang berjalan di negara Eropa dan kawasan Asean yang sudah menerapkan strict liability atau tanggung jawab mutlak akibat yang ditimbulkan berupa kerusakan.

“Yaitu tidak dikaitkan dengan kesalahan, sepanjang ada konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi atau akibat dari produk yang cacat, maka konsumen dapat mengajukan gugatan, tuntutan ganti kerugian tanpa harus membuktikan adanya unsur kesalahan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait