Polemik Dampak Domino Pajak Karbon, Pemerintah Diminta Berikan Subsidi
Terbaru

Polemik Dampak Domino Pajak Karbon, Pemerintah Diminta Berikan Subsidi

Pajak karbon akan memicu kenaikan tarif listrik yang dikonsumsi masyarakat.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Managing Partner MDR Law, Wibowo Mukti, dalam Webinar Hukumonline 2021: Pemahaman Poin-Poin Penting Perubahan Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Kamis (9/12). Foto: Hol
Managing Partner MDR Law, Wibowo Mukti, dalam Webinar Hukumonline 2021: Pemahaman Poin-Poin Penting Perubahan Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Kamis (9/12). Foto: Hol

Pemerintah melakukan harmonisasi aturan perpajakan lewat UU No 21 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP, beberapa aturan pajak mengalami perubahan seperti Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), pajak cukai, bahkan ada penambahan objek pajak baru yakni pajak karbon.

Terkait pajak karbon, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Kebijakan ini baru diimplementasi pada 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara. 

Di samping mengusung semangat melindungi lingkungan, pengenaan pajak karbon disebut memberikan dampak domino. Managing Partner MDR Law, Wibowo Mukti, menyampaikan bahwa pada dasarnya kandungan UU HPP cukup baik, namun pemerintah harus memikirkan persoalan pajak karbon karena akan mempengaruhi harga listrik yang akan diterima oleh masyarakat.

Gambarannya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara sebagai entitas akan dikenakan tarif pajak karbon Rp30,00 per ketentuan. Kenaikan biaya ini akan ditambahkan oleh PLTU ke dalam biaya produksi yang kemudian akan dibeli oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan harga yang telah disesuaikan.

PLN sebagai entitas milik negara, akan menyalurkan listrik kepada masyarakat selaku pengguna akhir. Rentetan kenaikan biaya produksi listrik ini, menurut Wibowo, harus bisa diatasi oleh pemerintah. Salah satu hal kebijakan yang paling masuk akal adalah lewat pemberian subsidi. (Baca: Melihat Kembali Urgensi Lahirnya UU HPP)

“Banyak hal yang menurut saya baik di UU HPP, tapi untuk pajak karbon PLN harus coba mengatasi penetapan tarif listrik kepada masyarakat. Kalau rentetan itu tidak dijamin pemerintah lewat pemberian subsidi, efeknya akan menaikkan tarif listrik dan bayar listrik lebih mahal. Efek bagusnya, kalau memang perusahaan-perusahaan nantinya diatur, sekarang belum diatur, mereka juga berupaya melakukan hal baik dalam lingkungan, dan kalau mereka dapat insentif itu bagus juga. Itu yang bisa dipahami dari ketentuan ini,” kata Wibowo dalam Webinar Hukumonline 2021: “Pemahaman Poin-Poin Penting Perubahan Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan”, Kamis (9/12).

Selain itu, Wibowo juga menyinggung PPN untuk pendidikan. Dalam ruang lingkup PPN, UU HPP mengatur penghapusan barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari barang dan jasa yang tidak dikenai PPN (negative list) dan memindahkannya menjadi barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap terlindungi dari kenaikan harga karena perubahan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tags:

Berita Terkait