Polemik Jual Beli Pulau di Indonesia, Bagaimana Aturannya?
Berita

Polemik Jual Beli Pulau di Indonesia, Bagaimana Aturannya?

Syarat utama kepemilikan adalah WNI. Itupun harus jelas sertifikat kepemilikannya secara hukum. Kendati WNI bisa berlaku sebagai pemilik bidang tanah pulau, Ia juga harus konsisten dengan persentase area konservasi di pulau yang dimiliki.

Hamalatul Qurani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Terjadinya transaksi jual beli Pulau Lantigiang, di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan membuat publik bertanya, apakah betul pulau di Indonesia bisa dibeli? Adakah aturannya? Atau apakah jual beli pulau diatur sebagai perbuatan dilarang yang bisa berujung pemidanaan? Beberapa waktu lalu bahkan terkuak adanya situs jual beli online yang menawarkan penjualan beberapa pulau di Indonesia. Di antaranya sebuah Pulau di Kawasan Desa Boneatiro, Kecamatan Kapuntori, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara yang dijual dengan harga murah.

Lantas bagaimana aturan kepemilikan dan pengelolaan/pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia? Terkait pengelolaan, pada prinsipnya pengelolaan pulau-pulai kecil di Indonesia diutamakan untuk konservasi. Dilansir dari laman Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian KKP, Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Aryo Hanggono, mengungkapkan persentase peruntukan ruang terbuka hijau atau konservasi bahkan mencapai 51 persen dari total luas pulau.

"Satu pulau itu paling sedikit 30 persen dikuasai langsung oleh negara dan paling banyak 70 persen dari luas pulau dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha. Dari 70 persen itupun pelaku usaha wajib mengalokasikan 30 persen untuk ruang terbuka hijau, artinya hanya 49 persen dari luas pulau yang boleh. 51 persen akan dikonservasi," terang Aryo dalamketerangan pers. (Baca: KKP Jamin PP 27/2021 Beri Kemudahan Usaha Perikanan Tangkap)

Sebagai tambahan, merujuk Pasal 16 UU No. 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disitu ditegaskan bahwa ‘setiap orang’ yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian ruang dari sebagian Perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin Lokasi. Izin lokasi dimaksud, akan menjadi dasar dari pemberian izin pengelolaan.

Terbaru, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa Setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan: a. produksi gararn; b. biofarmakologi laut; c. bioteknologi laut; d. pemanfaatan air laut selain energi; e. wisata bahari; f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau g. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.

Adapun Perizinan Berusaha untuk kegiatan selain sebagaimana dijabarkan di atas diatur akan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bila terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Ciptaker, maka selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam rangka penanaman modal asing, Pasal 26A UU Ciptaker juga menggariskan bahwa dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang penanaman modal. Bila penanaman modal asing tersebut tak memiliki perizinan berusaha sebagaimana digariskan Pasal 26A, dan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi ruang, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar (lihat Pasal 73A UU 11/2020).

Tags:

Berita Terkait