Polemik Penerbitan Perppu Momen Revisi UU Pembentukan Peraturan
Berita

Polemik Penerbitan Perppu Momen Revisi UU Pembentukan Peraturan

Meskipun terdapat putusan MK 138/PUU-VII/2009, ketiadaan penafsiran baku tentang frasa “masa sidang berikutnya” dalam Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

“Meskipun sudah ada putusan MK tentang itu. Kapan presiden bisa keluarkan Perppu apakah saat masa sidang atau masa reses. Ini harus ada kejelasan tentang rentang waktu untuk membentuk Perppu,” usul mantan Direktur Eksekutif PSHK itu. (Baca Juga: Komentar Dua Guru Besar atas Perppu Penanganan Covid-19)

 

Dia menerangkan awalnya ketiadaan batasan yang jelas tentang “keadaan yang memaksa”. Dalam konteks ini lahir putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa. Pertama, kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

 

Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.

 

Langgar konstitusi

Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam menilai Perppu No. 1 tahun 2020 berpotensi melanggar konstitusi. Sebab, terdapat sejumlah pasal cenderung bertentangan dengan UUD 1945. Pertama, terkait dengan kekuasaan pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum, dan kerugian keuangan negara.

 

Dia menilai terkait dengan APBN, Pasal 12 ayat (2) Perppu 1/2020 mengatur perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Baginya Pasal 12 ayat (2) itu mengamputasi kewenangan DPR. “Dan membuat (perubahan, red) APBN tidak diatur dalam UU atau yang setara,” kata dia.

 

Anggota Banggar ini menjelaskan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 telah menyatakan kedudukan dan status APBN melalui UU yang ditetapkan setiap tahun. Sementara Rancangan APBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3. “Konstitusinya sudah jelas. Jadi yang sudah berjalan ini cenderung bertentangan dengan konstitusi,” kata dia.

 

Kedua, terkait imunitas pengambil kebijakan. Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 menyebutkan “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait