Polemik Sanksi “Ganjil” Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan
Utama

Polemik Sanksi “Ganjil” Tunggakan Iuran BPJS Kesehatan

Peserta yang menunggak iuran BPJS Kesehatan secara otomatis tidak dapat mengurus pelayanan publik seperti SIM dan STNK. Hal ini dianggap memberatkan masyarakat.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES

Persoalan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus menjadi perhatian publik saat ini. Belum usai soal perdebatan kenaikan iuran, kemudian muncul lagi polemik lain mengenai sanksi bagi peserta yang terlambat membayar iuran tersebut. BPJS Kesehatan akan menerapkan sanksi bagi penunggak iuran tidak dapat mengakses pelayanan publik lainnya seperti pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

 

Tapi tak ada asap tanpa api. Wacana pemberlakuan sanksi ini dilakukan untuk meningkatkan pengumpulan iuran dari peserta BPJS Kesehatan yang masih rendah. Tercatat, keaktifan peserta BPJS Kesehatan hanya mencapai 54 persen. Sementara tingkat penggunaan asuransi sangat tinggi. Hal ini juga menjadi salah satu faktor defisit keuangan BPJS Kesehatan.

 

Namun, penetapan sanksi ini dianggap tidak tepat. Anggota Komunitas Peduli BPJS Kesehatan, Wendra Puji menilai wacana penetapan saksi tersebut merupakan tindakan represif BPJS Kesehatan kepada masyarakat atau peserta. Menurutnya, penetapan sanksi ini justru menunjukan manajemen BPJS Kesehatan melakukan tindakan yang merugikan peserta.

 

“Kami kira dari Komunitas berpendapat ini belum tepat,  meskipun diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah) 86 Tahun 2013 langkah penerapan sanksi ini dapat menambah beban pikiran peserta disaat peserta akan dibebankan juga rencana kenaikan iuran, serta pemberitaan defisit  BPJS Kesehatan yang tidak kunjung usai,” tambahnya.

 

Selain itu, kebijakan sanksi ini juga dianggap menjadi serangan balik bagi pihak manajemen BPJS Kesehatan. Sebab, penerapan sanksi tersebut berisiko menurunkan jumlah kepesertaan yang dapat merugikan BPJS Kesehatan dan masyarakat.

 

(Baca: Siap-siap! Iuran BPJS Kesehatan Naik Tahun 2020)

 

Wendra mempertanyakan jika kebijakan sanksi diterapkan, apakah defisit BPJS Kesehatan yang timbul saat ini dapat dikatakan suatu kondisi yang merugikan BPJS Kesehatan dan peserta itu sendiri?

 

Menurutnya, kalau memang faktanya merugikan ini dapat mengancam jabatan Direksi BPJS Kesehatan karena pada UU BPJS Kesehatan Pasal 34, Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi diberhentikan dari jabatannya karena merugikan BPJS dan kepentingan Peserta Jaminan Sosial karena kesalahan kebijakan yang diambil.

 

“Bagaimanapun Negara wajib menjamin jaminan sosial kepada warga negaranya sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 H" tegas Wendra saat dikonfirmasi Hukumonline, Kamis (10/10).

 

PP 86/2013:

TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEMBERI KERJA SELAIN PENYELENGGARA NEGARA DAN SETIAP ORANG, SELAIN PEMBERI KERJA, PEKERJA, DAN PENERIMA BANTUAN IURAN DALAM PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL

Pengenaan Sanksi Administratif

Pasal 5:

  1. Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan setiap orang, selain pemberi kerja, Pekerja, dan penerima bantuan iuran yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikenai sanksi administratif.
  2.  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda; dan/atau
  3. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

 

Wendra berpendapat, pihak manajemen BPJS Kesehatan seharusnya lebih bijak menyikapi persoalan defisit ini. Seharusnya, dia mengimbau agar BPJS Kesehatan juga fokus meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga menimbulkan kepercayaan publik.

 

"Apa engga lebih baik manajemen BPJS Kesehatan fokus untuk mencapai target penerimaan pembayaran iuran yang katanya menjadi salah satu faktor defisit dan meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit demi pencapaian kepesertaan semesta" tandas Wendra.

 

Di sisi lain, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Angger P Yuwono, mengatakan sudah terdapat dasar hukum bagi BPJS Kesehatan memberlakukan sanksi tersebut. Menurutnya, sanksi ini untuk meningkatkan pengumpulan iuran yang masih rendah. Dia menambahkan seharusnya peserta juga harus memiliki kesadaran moral karena prinsip jaminan kesehatan nasional ini yaitu gotong royong sesama peserta.

 

“Saya selaku anggota DJSN memandang itu (sanksi) sangat wajar. Selama ini memang sudah ada dasar hukumnya hanya saja law enforcment-nya belum benar-benar dilakukan. Peserta juga harus menyadari tanggung jawab moral. Jadi, (sanksi) masuk pelayanan publik itu hal wajar. Ini rencana lama untuk mengaitkan pembayaran iuran bpjs dengan pelayanan publik seperti KTP paspor. Ini salah satu cara untuk peserta bayar iuran BPJS Kesehatan,” jelasnya.

 

Perlu diketahui, kelalaian masyarakat dalam membayar iuran atau premi BPJS juga membuat defisit pada BPJS Kesehatan mencapai Rp32,8 triliun, melebar dari proyeksi awal yang sebesar Rp28 triliun. Jika iuran peserta tidak dinaikan defisit akan terus melonjak setiap tahunnya dan mencapai Rp77,9 triliun di 2024.

 

Terdapat 96,8 juta untuk peserta tidak mampu (miskin) yang iurannya ditanggung pemerintah pusat melalui APBN. Rata-rata iuran BPJS Kesehatan Rp 40.000 sementara pengeluaran rata-rata capai Rp 50.000. Kalau dihitung berdasarkan kelas, misalnya kelas I, iuran normalnya harusnya Rp 300.000 per bulan tetapi pemerintah hanya membebankan Rp 160.000.

 

Atas kondisi tersebut, masyarakat diimbau untuk bersiap diri bahwa pemerintah sudah memutuskan bahwa iuran BPJS Kesehatan naik pada 2020. Kenaikan tersebut pada kelas I menjadi Rp160.000 dari Rp80.000 per bulan. Kemudian kelas II menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp59.000 per bulan. Sedangkan, kelas 3 dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa.

 

Tags:

Berita Terkait