Polri Diminta Tuntaskan Refomasi Kultural Secara Serius
Utama

Polri Diminta Tuntaskan Refomasi Kultural Secara Serius

Karena masih banyak terjadi kasus dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian. Ini disebabkan aparat kepolisian sangat minim pemahaman HAM, belum paham penerapan beberapa Perkap terkait implementasi HAM, kurangnya perhatian pimpinan Polri terhadap isu HAM.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Perspektif HAM sangat minim

Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, mengatakan negara punya niat baik untuk mencegah penyiksaan dengan menerbitkan beragam regulasi. Bahkan Perkap No.8 Tahun 2009 mengadopsi beragam aturan terntang anti penyiksaan. “Yang kurang selama ini implementasinya. Mandat polisi itu mengayomi masyarakat, pelindung HAM,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Maneger menyebut lembaganya punya mandat menangani perlindungan saksi dan korban dalam perkara pidana, salah satunya terkait penyiksaan. Hak korban/saksi dalam kasus penyiksaan mendapat perlindungan dalam bentuk fisik, hukum, pendampingan, dan pemenuhan hak prosedural. Pemulihan korban meliputi finansial dan nonfinansial.

Menurut Maneger, penyiksaan ini terjadi secara struktural karena pelakunya meliputi polisi, TNI, dan sipir. Ironisnya, banyak pelaku yang bebas karena tidak ada saksi dan hanya diproses secara internal. Dia juga melihat perspektif aparat terhadap HAM sangat minim. Bahkan, aparat penegak hukum menganggap penyiksaan terhadap pelaku kejahatan sebagai tindakan yang wajar. Pengakuan masih diutamakan sebagai alat bukti.

LPSK merekomendasikan 5 hal. Pertama, menambah kurikulum mengenai HAM dalam tahap pendidikan calon anggota Polri, sehingga mendapat pemahaman HAM secara menyeluruh. Kedua, memaksimalkan peran KuPP untuk melakukan pemantauan dalam rangka pencegahan penyiksaan. Ketiga, ratifikasi OPCAT. Keempat, perlu adanya regulasi mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana dan memaksimalkan mekanisme ganti kerugian dan pemulihan bagi korban, serta hukuman maksimal bagi pelaku penyiksaan sebagai efek jera. Kelima, mengefektifkan pengawasan internal dan eksternal untuk memerangi penyiksaan.

Mengganggap sebagai penghukum

Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai aparat penegak hukum menganggap dirinya sebagai punisher (penghukum), bukan penegak hukum. Padahal polisi, jaksa, dan pengadilan seharusnya mengedepankan paradigma penegakan hukum. Tapi faktanya masih ada cara pandang yang menilai orang yang melakukan kejahatan layak mendapat balasan akibat kejahatannya.

Ardi menghitung sedikitnya ada 4 Perkap yang mengatur anti penyiksaan di internal kepolisian. Pertama, Perkap No.1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Kedua, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Ketiga, Perkap No.14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keempat, Perkap No.4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“Jika berbagai aturan ini dilaksanakan secara serius, maka signifikan untuk mencegah praktik penyiksaan,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait