Potensi Artificial Intelligence dalam Pembuatan Peraturan
Utama

Potensi Artificial Intelligence dalam Pembuatan Peraturan

​​​​​​​Pengaturan platform penyedia kecerdasan buatan sehingga pada tahap implementasi tidak mengacaukan legal logic dari suatu perkara.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 4 Menit

Karena itu Wicipto optimis dengan kemampuan teknologi kecerdasan buatan membantu pekerjaan praktisi hukum dalam skala yang lebih besar seperti pembuatan peraturan perundang-undangan. “Bahkan AI (artificial intellligence) juga mampu menganalisis dokumen hukum dan menemukan kelemahan atau kekurangan atas suatu dokumen hukum. Misalnya kontrak,” terang Wicipto.

Baca:

Ke depan, Wicipto melihat peluang kecerdasan buatan digunakan ke dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sangat terbuka. Dirinya menuturkan, kecerdasan buatan yang kerap digunakan oleh negara-negara maju lazimnya dilengkapi dengan sistem pakar. Sistem pakar ini merupakan program komputer yang mensimulasikan penilaian dan perilaku mausia atau organisasi yang memiliki pengetahuan dan pengalaman ahli di bidang tertentu.

“Misalnyaa kepakaran dan keahlian di bidang perancangan peratuan perundang-undangan,” tutur Wicipto.

Dalam perancangan Undang-Undang, posisi kecerdasan buatan dengan sistem pakar tersebut adalah mutlak sebagai alat bantu. Menurut Wicipto, pengambilan keputusan dalam pembentukan Undang-Undang tetap diserahkan kepada manusia dalam hal ini adalah mereka yang diberikan wewenang membentuk Undang-Undang.

Dengan begitu diharapkan melalui penggunaan kecerdasan buatan yang terintegrasi dengan sistem kepakaran tersebut dapat membantu tugas tim legal drafting yang dibentuk oleh lembaga atau insititusi dalam pembentukan Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang lain. Karena itu Wicipto merekomendasikan adanya penyediaan database peraturan perundang-undangan yang lengkap. Menurutnya, database yang tersedia saat ini cukup banyak namun masih bersifat sektoral dan tidak terintegrasi.

“Pandangan saya mestinya penyediaan database PUU itu satu saja. Banyak teman-teman yg terlibat dalam PUU tidak tahu status UU yg akan dirujuk. Sering muncul malah UU yg sudah diganti tetap dirujuk,” terang mantan Kepala BPHN ini.

Sementara itu, Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengungkapkan, hal senada mengenai peran kecerdasan buatan dalam pembuatan hukum. Namun Bivtri mengingatkan adanya sejumlah keterbatasan kecerdasan buatan jika hendak diterapkan ke dalam dunia hukum. Dirinya mencontohkan aspek penalaran hukum yang masih membutuhkan sisi kemanusiannya.

Tags:

Berita Terkait