PPATK Endus Modus Dana Terorisme Via Yayasan
Berita

PPATK Endus Modus Dana Terorisme Via Yayasan

Dengan latar belakang untuk kegiatan keagamaan, pendidikan dan sosial.

ANT
Bacaan 2 Menit
Kepala PPATK M Yusuf. Foto: Sgp
Kepala PPATK M Yusuf. Foto: Sgp
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengidentifikasi modus pendanaan terorisme yang berisiko tinggi yakni menggunakan pendanaan dalam negeri melalui sumbangan ke yayasan dan penyalahgunaan yayasan. "Kebanyakan mereka menggunakan wadah yayasan, sedangkan ada 130.000 yayasan di Indonesia," kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf, Jakarta, Senin (28/12).

Menurutnya, modus pendanaan melalui yayasan dilakukan dengan berbagai latar belakang seperti untuk kegiatan keagamaan, pendidikan dan sosial. Atas dasar itu, Yusuf mengatakan, dana yang masuk ke yayasan juga perlu diaudit sehingga diketahui asal dan peruntukan dana tersebut.

"Setiap aliran dana masuk ke yayasan, harus diaudit supaya jelas dari mana asalnya dan digunakan untuk apa sehingga tidak disalahgunakan untuk praktik-praktik tertentu seperti terorisme," ujarnya.

Selain melalui yayasan, modus pendanaan terorisme juga dilakukan melalui kegiatan usaha atau berdagang dan kegiatan kriminal. Misalnya, banyak dana yang masuk ke suatu perusahaan tapi tak sebanding dengan nilai dan jumlah transaksi yang dilakukan sehingga dikhawatirkan terkait dengan tindak pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Ia berharap, aparat penegak hukum dapat memfokuskan pada tiga tindak pidana asal yang berisiko tinggi terjadinya pencucian uang yakni narkotika, korupsi dan perpajakan. Sementara bagi pihak regulator, diharapkan dapat fokus memperhatikan kebijakan dan pengawasan pelaksanaan anti pencucian uang dan pendanaan terorisme pada industri pasar modal.

Selain itu, lanjut Yusuf, peranan seluruh pemangku kepentingan dalam mendukung integrasi dan akses data untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan terorisme juga tak kalah penting. Menurutnya, terdapat sembilan wilayah yang berisiko tinggi terjadinya tindak pidana pendanaan terorisme. Antara lain, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darusalam, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.

"Untuk pemindahahan dana terorisme yang berisiko tinggi yaitu melalui sistem pembayaran elektronik, sistem pembayaran online, sedangkan untuk transaksi yang berisiko tinggi yaitu tarik atau setor tunai," ujarnya.

Di sisi lain, ia mengatakan, sejak 2010 hingga 2015 ada lebih dari 50 kepala daerah dengan transaksi keuangan mencurigakan. Hasil analisis terhadap lebih dari 50 kepala daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia itu telah diserahkan ke aparat penegak hukum.

Namun, ia mengatakan penegak hukum masih terbentur dengan kecukupan alat bukti untuk menjerat lebih dari 50 kepala daerah itu. "Semuanya belum ada feedback hukum ditindaklanjuti," ujarnya.

Yusuf mengatakan, pemerintah membekukan dana Rp2,08 miliar yang bersumber dari 26 rekening yang diduga milik teroris. Dana itu diduga kuat berkaitan dengan tindak terorisme. Hal ini merupakan dampak dari terbitnya Peraturan Bersama mengenai Pencantuman Identitas Orang dan Korporasi Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris, dan Pemblokiran Secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau Korporasi yang Tercantum Dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris.

"Dampak positif diterbitkannya peraturan bersama itu adalah keluarnya Indonesia dari daftar hitam badan pengawas pencucian uang internasional, Financial Action Task Force (FATF)," katanya.

Sebelumnya, Indonesia masuk daftar hitam negara-negara yang paling banyak melakukan praktik pencucian uang menurut penilaian FATF. Indonesia masuk daftar hitam karena dinilai belum memenuhi rekomendasi FATF terkait pembekuan serta merta atas aset dari orang dan entitas yang ditetapkan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 1267.

Hingga Juni 2015, berdasarkan penilaian FATF, Indonesia masih berada dalam zona negara yang berisiko tinggi terhadap tindak pencucian uang dan terorisme. "Bahkan pada Februari 2014 Indonesia terancam dikenakan sanksi yang akan berdampak negatif terhadap reputasi Indonesia khususnya lembaga keuangan Indonesia dalam berinteraksi dengan lembaga keuangan negara lain," tuturnya.

Untuk mengatasinya, Mahkamah Agung RI, Kementerian Luar Negeri, Kepala Kepolisian RI, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Kepala PPATK sepakat untuk menyusun peraturan bersama. Peraturan tersebut telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 11 Februari 2015.
Tags:

Berita Terkait