Prapenuntutan, Win-win Solution Polisi dan Jaksa yang Terlupakan
Resensi

Prapenuntutan, Win-win Solution Polisi dan Jaksa yang Terlupakan

Telaah kritis sejak riset dimulai 20 tahun lalu. Rujukan penting dan langka tentang prapenuntutan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Sejumlah pasal prosedur prapenuntutan antara lain Pasal 109 ayat 1, Pasal 138, dan pasal 139 KUHAP. Choky Risda Ramadhan yang ikut menulis buku ini pernah menguji seluruh pasal itu ke Mahkamah Konstitusi di tahun 2015. Permohonannya mewakili Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama pemohon lain yang merasa dirugikan.

Alasan permohonan karena kehadiran prapenuntutan justru menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dan penanganan perkara berlarut-larut di penyidikan. Misalnya salah satu proses penuntutan ialah pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Jaksa selaku penuntut umum.

(Baca juga: Aturan Prapenuntutan Dipersoalkan ke MK).

Mahkamah Konstitusi lalu mengabulkan hanya untuk pengujian Pasal 109 KUHAP dengan Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015. Isinya menyatakan pemberitahuan harus dilakukan paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Tidak hanya kepada Jaksa, namun juga kepada Terlapor dan pelapor/korban. Artinya, lembaga prapenuntutan tetap konstitusional untuk selebihnya.

“Sayangnya, prapenuntutan ini tidak sepenuhnya efektif,” kata penulis menyimpulkan dalam pendahuluan buku ini. Tentu ini bukan kesimpulan yang tergesa-gesa. Topo membutuhkan waktu 20 tahun pengamatan sejak tesisnya ditulis 20 tahun lalu. Kali ini ia bersama Choky mantap menyatakan kelemahan lembaga prapenuntutan dalam penegakan hukum.

Kedua penulis buku ini menghimpun data sebanyak 255.618 perkara disidik tanpa ada pemberitahuan kepada Jaksa. Belum lagi 44.273 berkas perkara hasil penyidikan yang tidak dikembalikan Polisi setelah diberikan koreksi dan petunjuk perbaikan oleh Jaksa. Jumlah tersebut baru sebatas yang terjadi sepanjang tahun 2012-2014. Jumlah totalnya sejak KUHAP berlaku diperkirakan lebih banyak lagi.

“Angka yang begitu besar tersebut merepresentasikan tidak efektifnya prapenuntutan bukan hanya secara teori, namun secara praktis,” tulis keduanya dalam kesimpulan. Mereka menyebut enam kelemahan lembaga prapenuntutan secara praktik.

Pertama, pelaksanaan prapenuntutan baru bisa setelah jangka waktu yang jauh dari dimulainya penyidikan. Jaksa tidak mengikuti penyidikan sejak awal. Kedua, berkas bolak-balik yang memperlama durasi. Ketiga, berkas bahkan kerap tidak dikembalikan ke Jaksa. Keempat, Polisi dan Jaksa tidak berhubungan langsung. Kelima, Polisi menyalahkan Jaksa karena berkasnya dikembalikan dengan alasan yang dibuat-buat, sebaliknya Jaksa menyalahkan Polisi karena tidak melakukan petunjuknya. Keenam, persepsi Polisi dan Jaksa sering berbeda atas suatu hal dari perkara.

Buku ini menjadi rujukan penting dan langka tentang prapenuntutan. Mungkin ini salah satu referensi yang menelaah secara kritis dan dalam fitur prapenuntutan dalam KUHAP. Penelusurannya membentang dari masa kolonial Belanda hingga tiga dekade sejak KUHAP berlaku. Di tengah berbagai upaya pembaruan KUHAP, buku ini menjadi literatur yang tidak boleh dilewatkan.

Tags:

Berita Terkait