Problematika Perppu Kebiri
Kolom

Problematika Perppu Kebiri

Dengan dipilihnya instrumen Perppu, maka Presiden harus dapat menjelaskan urgensi Perppu tersebut di dalam konsiderans ‘menimbang’ dan penjelasan umumnya.

Bacaan 2 Menit
Alfin Sulaiman. Foto: Koleksi Penulis
Alfin Sulaiman. Foto: Koleksi Penulis
Meskipun menuai pro dan kontra Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri) akhirnya resmi ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Sebagaimana telah ramai diperbincangkan di ruang publik, Perppu Kebiri memuat ancaman pidana mati dan pengumuman identitas pelaku serta tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi keberadaan (chip) terhadap pelaku. Resmi berlaku sejak ditandatangani Presiden Jokowi, Perppu Kebiri tetap tidak bisa lepas dari problematika yang menyertainya.

Persoalan Prosedur
Perppu merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang secara konstitusional merefleksikan kekuasaan eksekutif (executive power) untuk mengatasi suatu kondisi “kegentingan yang memaksa”. Secara konstitusional, ‘kegentingan yang memaksa’ diatur sebagai salah satu bentuk (varian) dari kondisi darurat yang sangat mungkin dialami oleh Indonesia, selain ‘kondisi perang’ dan ‘keadaan bahaya’.

Pasal 22 ayat (1) UUD1945 mengatur bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Ketentuan ini merupakan hak subjektif Presiden dalam kondisi ketatanegaraan yang abnormal (noodverordeningrecht) untuk bertindak cepat, tepat, dan terukur agar keselamatan negara dapat terjamin, namun secara teoritis diingatkan, perluasan pengertian mengenai “kegentingan yang memaksa” harus dipertimbangkan secara hati-hati karena jika dilakukan tanpa pembatasan maka Perppu akan menjadi instrumen kediktatoran dalam penyelenggaraan negara (Bagir Manan: 2003).

Pasca Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, hak untuk menetapkan Perppu tidak lagi ‘murni’ merupakan subjektivitas Presiden, sebab MK mengatur 3 syarat terpenuhinya “kegentingan yang memaksa” yakni: (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, dan (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dengan dipilihnya instrumen Perppu untuk melakukan perubahan kedua atas UU Perlindungan Anak, maka Presiden harus dapat menjelaskan urgensi Perppu tersebut di dalam konsiderans ‘menimbang’ dan penjelasan umumnya. Presiden juga harus menjelaskan secara komprehensif bahwa Perppu tersebut memang sungguh-sungguh diperlukan, namun tetap dalam koridor konstitusional yang telah diamanatkan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 sehingga perlu dihindari pembentukan Perppu yang secara sengaja bertujuan menghindari (by pass) proses diskusi dan negosiasi dengan (perwakilan) rakyat di DPR (Jimly Asshiddiqie: 2010). Memang pada akhirnya nanti DPR secara konstitusional hanya memberikan atau tidak persetujuan terhadap Perppu tersebut dan sama sekali tidak dimungkinkan untuk membahas pasal demi pasal sebagaimana jika Presiden dan DPR melakukan pembahasan suatu RUU.

Persoalan Substansi
Materi pokok yang ingin diatur dalam Perppu Kebiri pada dasarnya adalah pemberatan ancaman pidana bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak dengan alasan empiris bahwa pemidanaan selama ini belum dapat memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, padahal dalam UU No. 35/2014 telah diatur ancaman pidana minimum khusus dan pemberatan sepertiga lebih berat dalam hal kejahatan tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan sehingga berdasarkan UU No. 35/2014, maka pidana terberat yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah pidana penjara paling lama 20 tahun.

Dalam Perppu Kebiri ancaman pidana yang telah ada ingin diperberat lagi sehingga dalam Perppu tersebut dicantumkan ancaman pidana mati, seumur hidup, serta peningkatan ancaman pidana minimum khusus dari yang sebelumnya ‘paling lama 5 tahun penjara’ menjadi ‘paling lama 10 tahun penjara’. Selain itu, terdapat pula ancaman pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta yang paling kontroversial adalah gagasan mengenai pemberian tindakan (maatregel) berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi keberadaan (chip) kepada pelaku.

Beberapa potensi persoalan yang akan muncul berdasarkan konsep pemidanaan yang ada dalam Perppu tersebut antara lain, pertama, penambahan jenis tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tentunya akan menjadi sorotan dunia internasional (khususnya Komisi HAM PBB) yang dalam setiap kampanyenya senantiasa mendorong negara-negara anggota PBB (termasuk Indonesia) untuk menghapuskan atau setidak-tidaknya mengurangi ancaman pidana mati dalam sistem legislasi domestiknya.

Kedua, ancaman pidana penjara dengan pola minimum khusus (10 tahun penjara) tentunya akan ‘berhadapan’ dengan filosofi kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana. Dengan adanya ancaman pidana minimum khusus (10 tahun penjara) maka Indonesia secara implisit menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan salah satu kejahatan dengan tingkat ketercelaan (verwijtbaarheid) yang paling tinggi sama seperti pelanggaran HAM berat sebagaimana yang diatur dalam UU No.26/200 tentang Pengadilan HAM, sebab kejahatan lain di Indonesia (bahkan termasuk korupsi, terorisme, dan narkotika) tidak mencantumkan ancaman pidana minimum khusus hingga menyebabkan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kurang dari 10 tahun penjara terhadap pelaku.

Ketiga, pengaturan mengenai kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi keberadaan (chip) kepada pelaku yang diatur sebagai sebuah tindakan (maatregel) menunjukkan belum sempurnanya pemahaman mengenai pemisahan antara konsep pidana (straf) dan tindakan (maatregel) dalam sistem sanksi yang bersifat ‘dua jalur’ (double track system). Kebiri (kastrasi) dengan metode apapun jika dikaitkan dalam konteks sanksi maka sangat jauh dari filosofi rehabilitasi yang merupakan justifikasi dari diberikannya suatu tindakan (maatregel) bagi pelaku tindak pidana, namun justru lebih dekat dengan salah satu justifikasi pidana (straf) yakni konsep ‘pelumpuhan’ (incapacitation) yang berorientasi menghilangkan kemampuan atau potensi pelaku untuk mengulangi tindak pidana (Ted Honderich: 2006). Begitu pula pemasangan chip yang dilakukan pasca pelaku menjalani pidana justru akan menyebabkan pelaku mengalami ‘hukuman ganda’ dan justru menjadi pengakuan implisit negara bahwa sistem pemasyarakatan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak gagal ‘menyembuhkan’ si pelaku.

Keempat, posisi kebiri kimia, baik jika akan diatur sebagai jenis pidana (straf) maupun tindakan (maaatregel), juga sangat rentan jika ‘berhadapan’ dengan prinsip-prinsip konstitusi karena meskipun Pasal 28J UUDNRI Tahun 1945 memungkinkan dilakukannya pembatasan HAM berdasarkan undang-undang, namun menurut pasal a quo, pembatasan tersebut tetap harus dilakukan dengan mempertimbangkan (antara lain) moral dan nilai-nilai agama sehingga jenis dan cara pelaksanaan pidana yang tidak sesuai dengan moral dan nilai-nilai agama tidak boleh dicantumkan dan diberlakukan di Indonesia.

Pejatuhan pidana pada akhirnya tidak akan memiliki nilai pembenaran (justifikasi) apapun bila pidana itu semata-mata dijatuhkan untuk sekadar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat (Bentham: 1781). Penerapan pidana kebiri (kastrasi) serta pemasangan alat pendeteksi keberadaan (chip) hanya akan menjadikan fenomena kejahatan seksual terhadap anak dilihat secara backward-looking dan sarat dengan semangat retributif (pembalasan) terhadap pelaku, padahal alat kelamin dan sistem reproduksi si pelaku hanyalah ‘alat’ yang digunakannya untuk melakukan kejahatan. Hal yang mendesak untuk dilakukan adalah mencari pola dan sistem pembinaan yang komprehensif sehingga dapat mengendalikan jiwa dan pikiran (mens rea) manusia untuk dapat menghindari penyaluran hasrat seksual secara immoral dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

PraktisHukum/Pengamat Hukum
Tags: