Prof Ahmad Tholabi Kharlie: Strategi Koeksistensi Harus Diperkuat dalam Realitas Pluralisme Hukum Nasional Indonesia
Terbaru

Prof Ahmad Tholabi Kharlie: Strategi Koeksistensi Harus Diperkuat dalam Realitas Pluralisme Hukum Nasional Indonesia

Secara operasional, koeksistensi hukum nasional mencegah benturan tiga pilar hukum pembentuk hukum nasional yang bisa memantik kekisruhan di tengah masyarakat. Kenyataan pluralime hukum dalam hukum nasional Indonesia sudah menjadi takdir sejarah yang masih kokoh.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 4 Menit
Ahmad Tholabi Kharlie saat pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (14/9/2022). Foto: Istimewa
Ahmad Tholabi Kharlie saat pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (14/9/2022). Foto: Istimewa

Takdir sejarah hukum Indonesia jelas mencatat bahwa ada tiga sistem hukum yang menjadi cikal bakal konsep hukum nasional Indonesia. Ahmad Tholabi Kharlie menyebutnya sebagai tiga pilar hukum nasional yaitu hukum barat, hukum adat, dan hukum Islam. Ia menegaskan keberadaan khazanah di masing-masing pilar tersebut sudah menjadi sumber materiil dalam pembentukan hukum nasional.

“Lahirnya istilah hukum nasional telah melalui proses yang cukup panjang. Meski demikian, penyebutan hukum nasional bukan tanpa masalah. Setidaknya, dalam praktik di lapangan, kompetisi antar-pilar hukum tersebut sulit dihindarkan. Dalam penerapan hukum di lapangan tidak sedikit saling berbenturan antara satu norma dengan norma lainnya,” kata Tholabi dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (14/9/2022) kemarin.

Baca Juga:

Garis besar orasi ilmiah penerimaan gelar Profesor oleh Ahmad Tholabi Kharlie menegaskan strategi koeksistensi mutlak dibutuhkan dalam realitas pluralisme dalam hukum nasional Indonesia. Tholabi terutama fokus pada harmonisasi di bidang hukum keluarga yang menjadi kepakarannya terhadap hukum administrasi. Ia memberi judul orasi ilmiah itu “Koeksistensi Hukum Nasional: Reformulasi Hukum Keluarga dan Hukum Administrasi di Indonesia.”

“Eksistensi ketiga sistem hukum tersebut dalam kenyataannya tetap diakui baik dari sisi akademik-keilmuan maupun dari sisi sumber materiil pembentukan undang-undang,” kata dia. Eksistensi bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melekat dengan tiga pranata hukum yang ikut membentuknya. Tholabi menyebut tiga pilar hukum itu secara filosofis dan praksis berkedudukan sebagai instrumen yang mendasar untuk mewujudkan cita hukum sesuai tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945.

“Untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan langkah konkret berupa koeksistensi hukum nasional (national law coexistence) melalui pilar hukum di Indonesia,” kata Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini.

Istilah koeksistensi yang digunakan Tholabi merujuk pada Black’s Law Dictionary 9th edition. Coexistence pada kamus itu adalah istilah hukum internasional yaitu The peaceful continuation of nations, peoples, or other entities or groups within an effective political-military equilibrium. Koeksistensi dimaknai sebagai situasi keseimbangan antara politik dan militer yang menciptakan harmoni di tengah masyarakat, bangsa, dan berbagai entitas.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019-2023 ini menggunakan istilah itu dalam konteks hukum nasional yang terdiri dari eksistensi hukum barat, hukum adat, dan hukum Islam. “Secara operasional, koeksistensi hukum nasional tetap mengakui eksistensi setiap pilar hukum yang ada sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dasar dalam bernegara yakni Pancasila dan UUD 1945,” lanjutnya.

Tholabi menyebut koeksistensi hukum nasional membutuhkan tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, mengakui eksistensi masing-masing pilar hukum dengan tanpa mempertentangkan satu pilar dengan pilar lainnya. Antarpilar dapat berdampingan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dasar bernegara. Di titik yang lain, penyatuan materi hukum dari pelbagai pilar yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Kedua, aturan, konsep atau institusi dari salah satu sistem secara eksplisit maupun implisit mempengaruhi penyusunan, interpretasi, dan penerapan aturan, gagasan, dan institusi yang lain dari salah satu sistem dapat dimasukkan dalam sistem lainnya. Kondisi tersebut pada akhirnya akan melahirkan interaksi satu sistem dengan sistem lainnya.

Ketiga, kesadaran kolektif para pembentuk undang-undang, penafsir undang-undang, pelaksana undang-undang terhadap pentingnya koeksistensi hukum nasional melalui proses pembentukan, pengawasan, penafsiran, dan pelaksanaan sebuah norma peraturan perundang-undangan.

Tholabi mengambil contoh hukum perkawinan mengenai perkawinan beda agama. Terjadi benturan antarnorma (konsep) hukum yang menjadi pemantik kekisruhan di tengah masyarakat. Terjadi beda pertentangan yang jelas antara norma hukum keluarga dan hukum administrasi di satu sisi. Di sisi lain, ada beragam putusan pengadilan yang telah menetapkan perkawinan beda agama sebagai fakta hukum yang diakui pencatatan statusnya oleh negara.

“Dalam konteks inilah koeksistensi hukum nasional dapat dioperasionalkan secara konsisten mulai dari sisi hulu hingga hilir,” lanjutnya. Negara seharusnya segera melakukan reformulasi hukum keluarga disandingkan dengan hukum administrasi agar kerumitan hukum dalam praktik di lapangan tak lagi terjadi.

Reformulasi dengan strategi koeksistensi juga bisa memberi kepastian hukum lebih baik. Intinya, segala konflik antara tiga pilar pembentuk hukum nasional harus dituntaskan segera dengan strategi koeksistensi. Potensi konfliknya pun harus dicegah sedini mungkin dalam legislasi.

Tholabi memberi dua usul untuk langkah taktis strategi koeksistensi hukum nasional. Pertama, perlu menghadirkan satu lembaga pemandu dalam mendesain koeksistensi hukum nasional yaitu Pusat Legislasi Nasional atau Badan Legislasi Nasional, atau sebutan lainnya. “Salah satunya berfungsi melakukan harmonisasi serta penataan regulasi di level daerah hingga pusat,” usulnya. Kedua, pembentukan peraturan perundang-undangan melalui model omnibus law untuk menata ulang hukum keluarga di Indonesia yang sudah telanjur ada.

“Dapat menjadi alternatif untuk menuntaskan kerumitan dalam penataan hukum keluarga di Indonesia, baik terkait masalah substansi maupun masalah kecil untuk dijadikan dalam satu Undang-Undang,” kata Tholabi.

Tholabi tercatat memiliki dua gelar sarjana. Pertama adalah Sarjana Agama dalam bidang Hukum Keluarga Islam dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sekarang bernama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kedua adalah Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta program kekhususan Hukum Perdata. Gelar magister dan doktor diraih juga di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Hukum Keluarga Islam. Ia mulai menjadi pengajar tetap di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2003 hingga sekarang sekaligus mengemban tugas Dekan Periode 2019-2023.

Tags:

Berita Terkait