Prof Tri Hayati: Kontrak Konsesi Tunduk pada Rezim Perizinan Hukum Administrasi Negara
Utama

Prof Tri Hayati: Kontrak Konsesi Tunduk pada Rezim Perizinan Hukum Administrasi Negara

Tidak perlu mempersoalkan apakah konsesi dengan judul kontrak tunduk pada rezim hukum perdata atau hukum administrasi negara. Selama substansinya adalah konsesi, pasti tunduk pada wilayah hukum publik yaitu jenis perizinan dalam hukum administrasi negara.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 5 Menit

Perjanjian itu pada dasarnya adalah kontrak. “Oleh karena itu, muncu dialektika yang berpendapat bahwa konsesi adalah izin konsesi atau kontrak konsesi,” ujar Tri. Ia mengatakan bahwa di Belanda saat ini tidak menyatakan dengan tegas apakah konsesi adalah konsep yang tunduk pada wilayah hukum publik atau hukum privat.

Konsesi dalam Regulasi Pertambangan Indonesia

Tri melanjutkan konsep konsesi di sektor pertambangan sudah dikenal sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda. Konsesi diatur dalam Indische Mijnwet 1899 (IMW 1899) saat itu.  Isinya diskriminatif yang merugikan bagi bangsa Indonesia. Pihak yang boleh melakukan pengusahaan pertambangan hanyalah orang-orang Belanda dengan bentuk pengusahaan berbentuk “konsesi,". Sedangkan pribumi tidak diberi peluang. Selain itu, isi konsesi juga memberikan hak yang sangat besar kepada perusahaan yang melakukan kegiatan penambangan.

Tahun 1910 dilakukan amandemen terhadap IMW 1899 dengan menambahkan Pasal 5A. Isinya membuka peluang bagi kaum pribumi untuk ikut serta melakukan kegiatan penambangan. Namun, keikutsertaan pribumi dalam kegiatan penambangan itu diberikan dengan bentuk “kontrak." Sejak saat itu, muncul perdebatan terkait bentuk pengusahaan di sektor pertambangan yakni antara izin (merujuk konsesi) dan kontrak. Seolah-olah substansi dua hal itu berada dalam rezim yang berbeda.

Konsesi pengusahaan pertambangan untuk orang-orang Belanda dianggap sebagai rezim perizinan dalam perspektif hukum administrasi negara, sementara itu kontrak keikutsertaan pribumi dalam kegiatan penambangan dianggap sebagai rezim kontrak dalam perspektif keperdataan.

Namun, sebenarnya kontrak 5A itu berbeda dengan kontrak perdata pada umumnya. Setiap kontrak 5A harus mendapat persetujuan dari parlemen yang saat itu bernama Voolksraad. Hasil persetujuan dituangkan dalam bentuk undang-undang. “Oleh karena itu, pada dasarnya kontrak 5A ini telah mengakui adanya kepemilikan publik, di mana harus terdapat persetujuan pemiliknya yaitu rakyat, melalui perwakilannya di DPR, yang dituangkan dalam bentuk undang-undang,” kata Tri.

Ia mengingatkan setelah Indonesia merdeka, Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menganut paham adanya “hak penguasaan oleh negara” terhadap sumber daya alam dan tujuan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Hak penguasaan negara ini memberikan pengertian bahwa terdapat kepemilikan publik secara kolektif terhadap bahan galian sumber daya alam.

“Pengusahaannya harus tetap diawasi oleh pemerintah sebagai pemegang mandat yang diberikan oleh rakyat sebagai pemiliknya. Pengawasan oleh pemerintah ini diperlukan agar dalam pelaksanaan konsesi tersebut dapat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah yaitu untuk memberikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Tri menjelaskan.

Tags:

Berita Terkait