Profesor Pidana Koreksi Pemahaman atas ‘Pasal Santet’
RUU KUHP:

Profesor Pidana Koreksi Pemahaman atas ‘Pasal Santet’

Pelaku bisa dijerat jika mengklaim secara terbuka punya kekuatan gaib untuk hal-hal yang negatif.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Profesor Pidana Koreksi Pemahaman atas ‘Pasal Santet’
Hukumonline

Sekretaris Komisi Hukum Nasional yang juga Guru Besar Hukum Pidana, Mardjono Reksodiputro mengoreksi kesalahpahaman sejumlah orang terhadap rumusan Pasal 293 RUU KUHP. Kesalahan bukan hanya pada penggunaan istilah santet dan model pembuktian, tetapi juga rumusan dan mekanisme pembuktian.  

Orang sering menyebut Pasal 293 RUU KUHP sebagai pasal santet. Masalah santet ini terus mengusik ranah  hukum. Padahal, kata Prof. Mardjono, tak ada sama sekali istilah santet dalam rumusan batang tubuh dan penjelasan RUU KUHP. Yang tertulis adalah istilah kekuatan gaib. Kesalahan penggunaan istilah itu berimbas pada persepsi sebagian orang bahwa yang ingin disasar dalam pasal itu adalah santetnya, padahal sebenarnya yang menjadi target adalah orang yang menipu. Karena itu, Prof. Mardjono lebih menyebut Pasal 293 sebagai tindak pidana penipuan khusus.

“Pasal itu sama sekali bukan ingin memerangi santet,” tegas pakar pidana yang pernah aktif terlibat dalam penyusunan RUU KUHP, dalam diskusi Radio 68H di kantor KHN Jakarta, Rabu (27/3). “Jadi, ada kekeliruan penafsiran dan pemahaman,” sambungnya.

Pasal 293 ayat (1) RUU KUHP merumuskan: setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik dipidana penjara paling lama lima tahun.

Dari rumusan tersebut tampak yang disasar adalah orang yang mengklaim punya kekuatan gaib yang dengan kekuatan gaibnya itu bisa menyebabkan sesuatu yang negatif kepada orang lain. Jadi, kata Prof. Mardjono, ada penawaran pelaku kepada orang lain untuk mengakibatkan penyakit, kematian, serta penderitaan mental dan fisik kepada pihak ketiga.

Sebaliknya, penawaran seseorang menggunakan kekuatan gaib untuk membuat orang lain menjadi lebih tenteram tidak termasuk dalam lingkup Pasal 293 ayat (1) KUHP. “Kalau penawaran itu untuk hal-hal yang baik, misalnya agar jadi tenteram, Pasal 293 RUU KUHP tidak bisa digunakan,” jelasnya.

Anasir lain yang perlu diperhatikan adalah ‘menyatakan dirinya’. Di sini, kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia itu, ada penyiaran dari pelaku kepada orang lain bahwa ia mempunyai kekuatan gaib yang bisa menyebabkan penyakit, kematian, dan penderitaan kepada pihak ketiga.  Rumusan Pasal 293 RUU KUHP tak bisa menjangkau orang yang menggunakan kekuatan gaib secara diam-diam. “Kalau diam-diam saja nggak kena,” jelasnya.

Anggota Komisi III DPR, Aboe Bakar Al Habsyi, menyatakan punya pandangan yang sama dengan pemikiran Mardjono. Penyebutan istilah pasal santet, diakui politisi PKS ini, telah menyesatkan pemahaman publik. Apalagi rumusan tersebut belum pernah dibahas DPR dan Pemerintah. DPR masih akan menerima masukan dari tokoh-tokoh hukum, agama, dan organisasi masyarakat.

Namun, Direktur Advokasi YLBHI Bahrain menilai masuknya rumusan Pasal 293 sebagai langkah mundur. Salah satu yang mengusik rasionalitas hukum pasal itu adalah pembuktian kekuatan gaib. “Pembuktian yang jelas saja kita sudah berdebat. Apalagi jika pembuktiannya tidak jelas,” ujarnya.

Kondisi yang paling dikhawatirkan Bahrain adalah dampak negatifnya. Sebab, dengan main tunjuk saja, seseorang bisa menuduh orang lain sebagai dukun santet.

Kekhawatiran Bahrain ditepis Prof. Mardjono. Pasal 293 RUU KUHP justru berusaha mencegah jangan sampai terjadi main tunjuk. Rumusan pasal ini memang tak lepas dari pengalaman traumatis atas kasus-kasus pembunuhan dukun santet di sejumlah daerah seperti di Banyuwangi, Jawa Timur. Selama ini, polisi berkilah tak bisa menjerat dukun santet, sehingga warga main hakim sendiri. Pasal 293 justru mencegah tindakan main hakim sendiri.

Di satu sisi, orang yang mengklaim secara terbuka punya kekuatan gaib untuk perbuatan buruk bisa dipidana maksimal lima tahun. Di sisi lain, orang yang dituduh secara serampangan sebagai dukun santet bisa diproses oleh polisi sehingga tak ada tindakan main hakim sendiri. “Pasal 293 RUU KUHP ini bertujuan untuk melindungi korban tuduhan santet,” jelas Prof. Mardjono.

Tags:

Berita Terkait