Program Vaksinasi, Kewajiban atau Sukarela?
Profil

Program Vaksinasi, Kewajiban atau Sukarela?

Penerapan sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksinasi tidak dapat langsung diterapkan. Perlu pemeriksaan lebih lanjut mengenai klausul-kalausul atau kondisi lebih lanjut terhadap masyarakat yang menolak vaksinasi.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Ahli hukum kesehatan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Rimawati, dalam Diskusi Hukumonline Academy dengan tema ‘Hak Kita untuk Sehat! Pahami Kebijakan Vaksin Covid-19’ yang disiarkan langsung dalam Instagram, Jumat (5/2). Foto: RES
Ahli hukum kesehatan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Rimawati, dalam Diskusi Hukumonline Academy dengan tema ‘Hak Kita untuk Sehat! Pahami Kebijakan Vaksin Covid-19’ yang disiarkan langsung dalam Instagram, Jumat (5/2). Foto: RES

Pemerintah merencanakan kewajiban program vaksinasi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut menimbulkan polemik karena vaksinasi seharusnya bersifat sukarela karena berkaitan kebebasan individu warga negara. Terlebih lagi kualitas vaksin tersebut masih dipertanyakan dalam keandalan dan efek sampingnya.

Ancaman sanksi denda hingga pidana diberikan kepada masyarakat yang menolak vaksinasi tersebut. Pemberian sanksi denda mengacu pada Pasal 30 Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No.2 Tahun 2020 Penanggulangan Covid-19. Sementara ancaman sanksi pidana mengacu pada Pasal 9 jo Pasal 93 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Untuk pidana, ancaman sanksi tersebut juga mengacu pada Pasal 14 UU Nomor 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Namun, terdapat ketentuan vaksinasi merupakan pilihan bagi masyarakat atau sukarela tanpa paksaan. Pasal 5 Ayat 3 UU 36/2009 tentang Kesehatan menyatakan, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan bagi dirinya”. Aturan tersebut menerangkan vaksinasi merupakan hak pilihan seseorang untuk memilih cara pengobatan termasuk menggunakan vaksin atau tidak.

Ahli hukum kesehatan dan dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Rimawati, menerangkan penerapan sanksi bagi masyarakat yang menolak vaksinasi tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Menurutnya, perlu pemeriksaan lebih lanjut mengenai klausul-kalausul atau kondisi masyarakat lebih lanjut terhadap mereka yang menolak vaksinasi tersebut.

“Ini diskusi yang sebenarnya enggak perlu diperpanjang. Secara lex generalis ini (vaksinasi Covid-19) ada di UU Wabah. Tapi harus lihat klausul pasal-pasal yang ada. Terkait UU Wabah pada pasal 5 ada tahapan-tahapan atau proses penanggulangan wabah itu mulai dari penyelidikan epidemologi sampai penanggulangan. Kalau diidentifikasi salah satu penanggulangan tersebut adalah pencegahan dan pengebalan,” jelas Rima dalam Diskusi Hukumonline Academy dengan tema “Hak Kita untuk Sehat! Pahami Kebijakan Vaksin Covid-19” yang disiarkan langsung dalam Instagram, Jumat (5/2).

Rima menjelaskan penerapan sanksi pidana pada UU Wabah tersebut hanya berkaitan dengan penyelidikan epidemiologis, pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina. Sehingga, dia menyatakan penerapan sanksi pidana tersebut tidak langsung dijatuhkan dan harus dipilah-pilah bagi masyarakat luas yang menolak vaksinasi.

Terlebih lagi terdapat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 dan SK Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/4/ 1 /2021 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. 

“Tidak bisa langsung pidana. Kalau UU Wabah itu lex genaralis-nya, kalau lex spesialis-nya ada di Permenkes dan juknisnya (SK Dirjen). Kalau masyarakat awam kalau dia menolak dalam konteks apa. Saya harap ada evaluasi dari kebijakan yang sudah ada,” jelas Rima.

Dalam artikel Hukumonline berjudul Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej menganggap ada sanksi bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. Sebab, vaksinasi Covid-19 merupakan kewajiban di tengah situasi wabah penyakit menular, seperti pandemi Covid-19. Sanksi yang dimaksud merujuk pada Pasal 9 jo Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. (Baca: Sosialisasi Masif dan Pentingnya Vaksinasi Covid-19)

Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Dia menilai Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan merupakan pasal “sapujagat” yang bersifat karet dan pasal keranjang sampah. Menurutnya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat dikatakan sebagai pidana administratif. Bagi siapapun yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sesuai Pasal 9 ayat (1) dapat dijerat dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.

Menurutnya, Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan berkaitan dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karena itu, terdapat kewajiban bagi setiap warga negara untuk mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan terkait kekarantinaan kesehatan. “Ketika kita menyatakan vaksin itu kewajiban, secara mutatis mutandis jika ada warga yang tidak mau divaksin bisa dikenakan sanksi pidana, bisa didenda atau penjara, atau bisa dua-duanya. Jadi bahasa (penafsirannya, red) amat sangat luas, itu kita istilahkan pasal karet,” ujarnya dalam sebuah webinar, Sabtu (9/1/2021) kemarin.

Meski rumusan norma tersebut sedemikian mudah menjerat pelanggaran kekarantinaan kesehatan, namun hukum pidana itu bersifat ultimum remedium (upaya terakhir). Artinya hukum pidana digunakan sebagai sarana penegakan hukum yang terakhir (setelah upaya lain sudah dilakukan). “Jelas ada sanksi. Tapi sedapat mungkin pidana itu jalan (upaya, red) terakhir,” katanya.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai tafsir Wamenkumham sangat berlebihan. Dia beralasan penerapan sanksi pidana dalam UU 6/2018 bila memenuhi dalam kondisi. Pertama, bila pilihan keputusan pemerintah menyatakan karantina wilayah, bukan PSBB. Kedua, tindakan yang dapat dikriminalisasi atau dipidana antara lain keluar masuknya wilayah karantina tanpa izin. Ketiga, subjeknya adalah para supir, nahkoda dan pilot.

“Begitu pula bagi orang per orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan karantina dan menyebabkan kedaruratan dengan adanya unsur perlawanan terhadap kebijakan karantina,” kata Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi Hukumonline, Kamis (14/1/2021).   

Dengan begitu, menurutnya tafsir Wamenkumham bagi yang menolak disuntiik vaksin Covid-19 bisa dijerat Pasal 93 UU 6/2018 berlebihan dan keliru. “Itu tafsir lebay. Ini menurut saya tidak relevan. Karena kita hanya (penetapan, red) PSBB. Demikian pula kedaruratan itu terjadi bukan karena satu dua orang, melainkan situasi pandemi kedaruratan yang menyeluruh,” ujarnya.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (FH UAI) Suparji Achmad punya pandangan senada. Dia menilai tindakan yang dilarang dalam Pasal 93 UU 6/2018 yakni perbuatan yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan; menghalang-halangi kekarantinaan kesehatan yang menimbulkan dampak kedaruratan kesehatan.

“Yang menjadi kewajiban adalah mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sesuai Pasal 9 ayat (1) UU 6/2018,” kata Suparji.

Dia menilai tafsir Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat menjerat pidana bagi warga negara yang menolak vaksin menggunakan tafsir meluas (ekstensif) yang tidak tepat dan tidak memenuhi asas legalitas. Dia merujuk Pasal 1 angka 1 UU 6/2018 yang menyebutkan, “Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”

Dengan begitu, menurut Suparji, vaksinasi Covid-19 yang sudah dimulai oleh pemerintah bersifat sukarela. Sebab, bila menggunakan UU 6/2018 yang menjadi kewajiban setiap warga negara adalah mematuhi kegiatan kekarantinaan kesehatan, bukan kewajiban vaksinasi Covid-19.

“Dalam UU 6/2018 tidak terdapat norma yang mengatur vaksin. Karenanya, vaksin menjadi sukarela bagi masyarakat untuk pencegahan virus. Sedangkan vaksinasi tidak ada norma UU yang mewajibkan,” tegasnya.

Fickar pun berpendapat pilihan pencegahan dan pengobatan penyakit merupakan hak seseorang sebagaimana diatur UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat (3) UU Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan bagi dirinya.”

“Ini hak pilihan seseorang untuk memilih cara pengobatan termasuk menggunakan vaksin atau tidak. Jadi, tidak tepat bila vaksinasi menjadi kewajiban yang bersifat paksaan."

Menurut Fickar, vaksinasi hakikatnya ikhtiar manusia mencegah penularan wabah Covid-19 yang patut diapresiasi. Karena itu, seharusnya pendekatannya tidak menggunakan instrumen hukuman pidana denda/penjara, tetapi persuasif. 

Suparji menambahkan pemerintah semestinya berupaya bagaimana cara menumbuhkan kesadaran masyarakat agar bersedia divaksinasi Covid-19 secara sukarela. “Masyarakat jangan ditakut-takuti. Jangan ditambahi beban dengan ancaman (pidana, red) baru, tetapi bangun optimisme masyarakat dengan cara persuasif dan otentik terkait efektivitas vaksinasi ini,” katanya.

 

Tags:

Berita Terkait