Proses Yudisial dan Pemulihan yang Berkeadilan Bagi Korban
Kolom

Proses Yudisial dan Pemulihan yang Berkeadilan Bagi Korban

Upaya untuk menghadirkan effective remedies diupayakan secara maksimal, bukan hanya pemberian bantuan sosial.

Bacaan 5 Menit
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa

Presiden Joko Widodo secara resmi mengakui dan menyesali telah terjadi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Berbagai peristiwa tersebut antara lain Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003. Langkah ini banyak mendapatkan apresiasi, utamanya dari sebagian kelompok korban. Akan tetapi jika ditelisik lebih jauh, pernyataan ini sangat terlambat, sebab seharusnya dilontarkan di awal masa jabatan pada 2014 atau 2019 lalu.

Pengakuan bahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu sebenarnya bukan kali pertama dilakukan pasca reformasi berlangsung. Presiden sebelumnya, misalnya Abdurrahman Wahid (Gusdur) juga pernah melakukan hal serupa, bahkan mendorong penyelesaian lewat proses pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana mandat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan Tanjung Priok. Selain itu, Gusdur juga mengupayakan penghentian kekerasan di tanah Papua yang telah berlangsung bertahun-tahun lewat cara dialog damai dan membuka akses suara Orang Asli Papua seluas-luasnya.

Walaupun dinilai positif, banyak juga yang menuding bahwa langkah ini sangat politis, sebab nuansa Pemilihan Umum 2024 sudah dekat atau hanya bersifat formalistik untuk sekadar menunaikan janji kampanye pada saat Pemilihan Presiden pada 2014 dan 2019 lalu. Terlebih pengakuan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo tidak disertai dengan upaya permintaan maaf dan komitmen serius untuk mengusut secara tuntas dan berkeadilan.

Sejak awal, langkah pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PPHAM) juga memang problematis. Selain diisi oleh terduga pelaku pelanggaran HAM, arah kerja dari tim ini begitu mudah ditebak karena kewenangannya begitu terbatas sebagaimana diatur dalam Ketetapan Presiden (Kepres). Tim ini dibentuk hanya ditujukan pada aspek non yudisial saja seperti halnya pemulihan dan rehabilitasi, tanpa dibarengi keadilan substansial, akuntabilitas penegakan hukum, upaya pengungkapan kebenaran dan jaminan tidak berulangnya peristiwa di masa mendatang.

Baca juga:

Proses Peradilan Tak Boleh Dipinggirkan

Pasca ditetapkannya 12 Pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu didukung oleh pernyataan Presiden untuk tidak akan mengenyampingkan proses yudisial, maka tidak ada satupun alasan yang cukup valid untuk tidak mengusut kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat proses pengadilan. Secara normatif, jika mengacu pada ketentuan UU Pengadilan HAM, maka terdapat dua institusi yang perannya sangat vital.

Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, untuk kejahatan sebelum berlakunya UU ini, maka diputuskan lewat Pengadilan HAM Ad Hoc atas usulan dari DPR RI. Sebelum UU Pengadilan HAM disahkan, terdapat sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu yang harus dijalankan lewat mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait