Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No.757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst antara Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menuai kontroversi. Salah satu amar putusan menghukum KPU RI sebagai tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu Tahun 2024. Padahal KPU RI dan jajarannya terus melakukan persiapan untuk menghadapi perhelatan pemilu 2024.
Peneliti PSHK, Muhammad Nur Ramadhan, mencatat putusan itu menyatakan KPU RI melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Menghukum KPU RI untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024 dan mengulang kembali tahapan pemilu dari awal. Bagi PSHK, putusan tersebut keliru dan tidak berdasar.
“Karena Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan memutus PMH yang diakibatkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, apalagi menunda Pemilu,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (03/03/2023).
Baca juga:
- Putusan PN Jakpus Penundaan Pemilu, Menkopolhukam: Kita Harus Lawan Secara Hukum
- KY Dalami Putusan PN Jakarta Pusat Soal Penundaan Pemilu
Ramadhan mengatakan, kewenangan mengadili PMH telah diatur Pasal 2 Peraturan MA No.2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili PMH oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah. Ketentuan itu secara tegas menyatakan perkara PMH oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara (PTUN).
Mengacu Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Ramadhan menjelaskan kualifikasi KPU adalah sebagai ‘badan dan/atau pejabat pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan UUD NRI 1945 dan/atau undang-undang’. Oleh karena itu, semua pihak harus paham tidak ada aturan yang memberikan kewenangan terhadap PN untuk memerintahkan penundaan pemilu.
“Artinya, Putusan PN Jakpus tersebut telah menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan dan telah melampaui kewenangannya,” urainya.