Belum rampung penanganan kasus aset jumbo mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta transaksi mencurigakan mencapai Rp300 triliun dan kepemilikan saham di ratusan perusahaan, muncul persoalan rangkap jabatan. Menariknya, ada 39 pegawai Kemenkeu eselon I dan II yang rangkap jabatan.
“Mayoritas menjadi komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak perusahaan BUMN,” ujar anggota Tim Kampanye dan Advokasi Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (Fitra) Gulfino Guevaratto melalui keterangannya kepada hukumonline, Kamis (9/3/2023).
Menelaah rangkap jabatan aparatus sipil negara (ASN) di BUMN nyaris tersebar di seluruh kementerian dan lembaga. Catatan Sekretariat Nasional (Seknas) Fitra berdasarkan hasil uji petik pada 243 komisaris BUMN di seluruh BMN ditemukan fakta minimal ada 95 aparatur negara atau 45 persen rangkap jabatan. Ya, rangkap jabatan menjadi komisaris di perusahaan BUMN.
Khusus di Kemenkeu, menurut Gulfino memang cukup banyak pegawainya yang rangkap jabatan. Maklum, Kemenkeu memiliki fungsi dan peran penting serta vital bagi pengelolaan keuangan negara. Tapi dengan adanya rangkap jabatan, Seknas Fitra khawatir bakal berdampak terhadap kinerja aparatur di Kemenkeu di lembaga maupun di perusahaan plat merah.
Gulfino menerangkan, rangkap jabatan sejatinya menabrak berbagai regulasi maupun peraturan perundangan. Dia berharap praktik kebijakan rangkap jabatan dapat ditinjau ulang. Kedudukan ASN dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan menata kelola pemerintahan yang baik amatlah penting.
“Sehingga profesionalitas dan tidak berpihak menjadi kunci dari pada ASN dalam menjalankan tugas serta kewajibanya, salah satunya mengenai hal rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN,” ujarnya.
Baca juga:
Lebih lanjut Gulfino menuturkan, hasil kajian Seknas Fitra menemukan dugaan 39 pejabat di lingkungan Kemenkeu rangkap jabatan paling banyak sebagai komisaris dan direktur BUMN. Hal itu menunjukan adanya indikasi rangkap penghasilan. Pasalnya, yang bersangkutan masih dalam status aktif menjabat secara stuktural.
Selain itu, ditemukan ada dominasi beberapa Kementerian dan Lembaga tertentu dalam penempatan jabatan komisaris di BUMN. Nah, permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja kementerian/lembaga dan BUMN yang ditempati, sehingga masyarakat luas bahkan negara berpotensi kehilangan manfaat atas kondisi seharusnya.
Menariknya, temuan Ombudsman RI periode 2020 menunjukan ada 397 komisaris BUMN merangkap jabatan dan 197 komisaris anak perusahaan, terindikasi rangkap jabatan dan penghasilan. Dampaknya, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan berpotensi tidak maksimal. Pasalnya itu tadi, adanya hubungan kedekatan emosional dengan yang diawasi. Kemudian minimnya kompetensi dan tidak memiliki keahlian dengan jabatan yang diembannya.
“Sehingga hanya menerima gaji saja tanpa melakukan apa-apa,” ujarnya.
Daftar Pejabat Rangkap Jabatan
No | Nama | Jabatan | Jabatan yang merangkap |
1 | Suahasil Nazara | Wakil Menteri Keuangan | Komisari PLN |
2 | Heru Pambudi | sekretaris Jenderal | Komisari Pertamina |
3 | Isa Rachmatarwata | Direktur Jenderal Anggaran | komisari PT Telkom |
4 | Suryo Utomo | Direktur Jenderal Pajak | Komisari PT SMI |
5 | Askolani | Direktur Bea dan Cukai | Komisaris BNI |
6 | Rionald Silaban | Direktur Kekayaan Negara | Komisaris Bank Mandiri |
7 | Astera Primanto Bhakti | Direktur Jenderal Perbendaharaan | Komisaris PT Semen Indonesia Grup |
8 | Luky Alfirman | Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan | Komisioner Lembaga Simpan Pinjam (bukan BUMN) |
9 | Awan Nurmawan Nuh | Inspektur Jenderal Kemenkeu | Komisioner PT Penjamin dan Infrastruktur |
10 | Febrio Nathan Kacaribu | Kepala Badan Kebijakan Fiskal | komisaris PT Pupuk Indonesia |
11 | Andin Hadiyanto | Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan | Komisaris Bank Tabungan Negara |
12 | Sudarto | Staff Ahli Organisasi, Reformasi Birokrasi dan Teknologi Informasi | Komisaris Pegadaian |
13 | Suminto | Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko | Ketua Komite Remunerasi dan Nominasi Indonesia Exim Bank |
14 | Nufransa Wira Sakti | Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak | Komisaris Utama di PT Sarana Multigriya Finansial |
15 | Yon Arsal | Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak | Komisaris PT Indonesia Infrastructure Finance |
16 | Made Arya Wijaya | Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara | Komisaris PT Biofarma |
17 | Rina Widiyani Wahyuningdyah | Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan menjabat sebagai (Persero) | Komisaris PT Sarana Multigriya Finansial/SMF |
18 | R. Wiwin Istanti | Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan | Komisaris PTPN 7 |
19 | Ari Wahyuni | Kepala Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan, | Komisaris Jamkrindo |
20 | Arief Wibisono | Kepala Biro Hukum | Wakil Presiden Komisaris PT PON (Petra Oxo Nusantara) |
21 | Tio Serepina Siahaan | Kepala Biro Advokasi | Komisaris Utama PT Geodipa energi |
22 | Rukijo | Kepala Biro Sumber Daya Manusia | Komisaris PT Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) |
23 | Sugeng Wardoyo | Kepala Biro Umum | Komisaris PT Pelayaran Bahtera Adhiguna |
24 | Hidayat Amir | Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan | Komisaris PT Angkasa Pura I |
25 | Agung Kuswandono | Tenaga Pengkaji Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara | Komisaris PT Biro Klasifikasi Indonesia |
26 | Rofyanto Kurniawan | Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara | Komisaris PT ASABRI |
27 | Chalimah Pujihastuti | Direktur Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman | Komisaris PT POS |
28 | Dedy Syarif Usman | Sekretaris DJKN | Komisaris PT Waskita Karya TBK |
29 | Encep Sudarwan | Direktur Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) | Komisaris Askrindo |
30 | Dwi Pudjiastuti Handayani | Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara | Komisaris Indonesia Re |
31 | Wawan Sunarjo | Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga | Komisaris PT Surveyor Indonesia |
32 | Lisbon Sirait | Direktur Sistem Penganggaran | Anggota Dewan Pengawas LLP-KUKM |
33 | Sudarso | Inspektur V | Komisaris PT Barata Indonesia |
34 | Meirijal Nur | Direktur Kekayaan Negara Dipisahkan | Komisaris Indosat |
35 | Joko Prihanto | Direktur Lelang | Komisaris PT Karaba Digdaya (bukan BUMN) |
36 | Mariatul Aini | Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan | Komisaris PT Penjamin dan Infrastruktur |
37 | Bhimantara Widyajala | Direktur Kapasitas Pelaksana Transfer | Komisaris PT Indonesia Infrastructure Finance |
38 | Heri Setiawan | Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara | Komisaris PT Geodipa energi |
39 | Adi Budiarso | Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) | Komisaris PT SUCOFINDO |
Sumber: Seknas Fitra
Terpisah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Roziqin, berpendapat Kemenkeu merupakan ultimate shareholder di BUMN. Sementara BUMN dibentuk dengan peraturan perundangan, dan modal dasar BUMN berasal dari penyertaan modal negara. Serta negara sering turun tangan membantu penyertaan modal negara di kemudian hari agar BUMN lebih sehat.
Untuk itu, Kemenkeu berkepentingan untuk mengawasi agar BUMN sehat. Namun Rroziqin mengingatkan, sesuai UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, komisaris bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Persero.
“Artinya, kalau komisaris bekerja dengan benar, maka tidak ada lagi, atau sedikit sekali BUMN yang merugi,” ujarnya.
Kenyataannya, meskipun para pejabat Kemenkeu menjadi komisaris, kerugian BUMN kerapkali terjadi. Pengawasan BUMN sebenarnya juga sudah menjadi tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) tersendiri dari Kementerian BUMN. Dia menilai, sekalipun pejabat Kemenkeu konsisten mengawasi BUMN sebagai komisaris, artinya ada dua kementerian yang pekerjaannya tumpang tindih. Yakni Kementerian BUMN dan Kemenkeu.
“Dan Ketika para pejabat Kemenkeu menjadi komisaris karena jabatannya, maka seharusnya gaji mereka berasal dari salah satu instansi, BUMN atau Kemenkeu, tidak boleh rangkap. Hal ini karena pekerjaan mereka menggunakan waktu yang sama, di jam kerja,” pungkasnya.