Puluhan Serikat Buruh Tolak Pemberlakuan ACFTA
Berita

Puluhan Serikat Buruh Tolak Pemberlakuan ACFTA

Pemberlakuan ACFTA akan menciptakan deindustrialisasi dan penggangguran yang berimbas pada penurunan daya beli masyarakat.

ASh
Bacaan 2 Menit

 

Sekjen Kobar, Syahganda menambahkan ketika ACFTA berlaku, para pengusaha dan rezim neoliberal akan kembali melihat buruh sebagai objek penting yang harus ditekan guna menyelamatkan industri. Alih-alih diajak berunding sesama stakeholder, buruh hanya bisa menyampaikan aspirasinya di jalan-jalan. Sementara pengusaha dan pemerintah telah berunding berkali-kali untuk menyelamatkan dunia usaha, misalnya rencana negosiasi tarif, nontarif barrier, dan pemberian stimulus fiskal.

 

“Belajar dari Filipina, jika penolakan atas pemberlakuan ACFTA pun ditolak pemerintah, kita akan ajukan mengajukan judicial review ke MA (untuk membatalkan Keppres yang mengesahkan perjanjian itu, red),” tambahnya.

 

Di tempat yang sama, salah seorang staf ahli Komisi VI DPR RI, Ikhsan Tualeka menambahkan, jangankan melibatkan serikat buruh dalam renegosiasi ACFTA, kementerian yang mengurusi soal pekerja pun tak dilibatkan, misalnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR. Padahal pemberlakuan ACFTA akan berimbas pada tenaga kerja Indonesia. “Saya kira Kementerian Tenaga Kerja juga harus dilibatkan oleh Komisi VI,” kata Ikhsan.       

 

Deindustrialisasi

Hal senada disampaikan Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar yang menyatakan penolakannya terhadap pemberlakuan ACFTA. Sebab, Indonesia dianggap belum siap melaksanakan itu. Ia mengatakan pemberlakuan ACFTA akan sangat merugikan buruh. Sebab, faktanya sudah terjadi deindustrialisasi di Indonesia. Meski Indonesia pernah mencoba memperkuat industri lokal, tetapi akhirnya tak mampu. Akhirnya ditandatanganilah ACFTA pada tahun 2002 yang berlaku 1 Januari 2010.

 

“Ditandatanganinya ACFTA akan mengakibatkan bertambahnya jumlah penggangguran, 39,4 juta pekerja formal akan terus berkurang yang akan menjadi pekerja informal, menjadi pedagang,”  kata Timboel. “Karenanya, ACFTA akan menciptakan deindustrialisasi, deindustrialisasi akan menciptakan penggangguran.”   

 

Presiden SBY pernah mengatakan tak bermasalah dengan pemberlakuan ACFTA. Namun, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian bertolak belakang menyikapi ACFTA ini. “Kementerian Perindustian meminta 330 pos tarif dinegosiasikan atau diundur pelaksanaannya, tetapi Kementerian Perdagangan mengaku tak ada masalah dan ACFTA tetap berjalan. Ini artinya, pemerintahan SBY tak punya manajemen pemerintahan yang baik,” Timboel menyimpulkan.  

 

Menurut Timboel, ACFTA ini pun akan berakibat pada kehancuran industri nasional karena produk China akan dipasarkan dengan harga murah. Hal ini terjadi karena tarif bea masuk produk China ke dalam negeri menjadi gratis. Akibatnya, produk dalam negeri akan terlindas dan pada berdampak buruh. Padahal dalam article 6 dan 9 WTO, Indonesia dapat menunda pelaksanaan ACFTA untuk mempersiapkan semuanya. “Tetapi, tak dilakukan oleh pemerintah.”

Halaman Selanjutnya:
Tags: