Putusan MK, ‘Tonggak’ Penghapusan Praktik Diskriminasi Agama Lokal
Berita

Putusan MK, ‘Tonggak’ Penghapusan Praktik Diskriminasi Agama Lokal

Putusan MK ini dinilai sudah tepat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Upaya sosialisasi e-KTP. Foto: SGP
Upaya sosialisasi e-KTP. Foto: SGP

Ketua SETARA Institute Hendardi menyambut positif terbitnya putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 terkait pengakuan kolom identitas kependudukan bagi penganut aliran kepercayaan tertulis dalam pengujian UU Administrasi Kependudukan. Bagi SETARA, putusan MK ini sebagai bentuk penghapusan praktik diskriminasi terhadap komunitas agama lokal yang hidup di Indonesia.

 

“Amar putusan MK ini menjadi tonggak sejarah penting penghapusan praktik diskriminasi agama dan kepercayaan lokal setiap warga negara,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (9/11/2017).

 

Dia mengajak semua pihak untuk menindaklanjuti putusan MK ini seraya mendorong lebih maksimal terkait pengakuan dan jaminan utuh agama dan kepercayaan lokal setiap warga negara. Sebab, selama 7 tahun terakhir komunitas agama lokal terus berjuang untuk mendapatkan hak pencantuman identitas di kolom agama di kartu identitas administrasi kependudukan.

 

Menurut Hendardi amar putusan MK yang menyatakan frasa ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24 tahun 2013 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2006 tentang Adminduk dinyatakan bertentangan dengan konstitusi apabila dimaknai tidak termasuk “kepercayaan” sudahlah tepat.

 

“Amar putusan itu berarti penyebutan agama tanpa memasukan kata “Kepercayaan” adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” kata dia. Baca juga: Kini, ‘Penghayat Kepercayaan’ Masuk Kolom Identitas Kependudukan

 

Meski putusan MK ini dipandang belum menyentuh persoalan esensi agama yang belum diakui, setidaknya secara keseluruhan aliran kepercayaan dapat ditulis dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Karena itu, negara sudah selayaknya tidak boleh lagi mendiskriminasi warga negara dalam pencantuman identitas keagamaan dan kepercayaan apapun.

 

Terpisah, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengingatkan putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus diterima dan dipatuhi semua pihak. Dia mengakui, fakta di lapangan ada sebagian masyarakat yang didiskriminasi apabila tidak memilih dan menganut agama yang diakui, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.

 

“Sekarang penganut kepercayaan itu dianggap sebagai bagian pilihan agama yang legal. Karena itu, putusan MK itu setingkat dengan UU, ya harus kita terima,” kata dia.

 

Dia menilai pencantuman penganut kepercayaan dalam kolom identitas kependudukan, seperti KTP dan Kartu Keluarga (KK) sudah tepat. Sebab, pencantuman kolom agama atau kepercayaan dalam pencantuman di kartu identitas kependudukan amat penting. “Pencantuman itu tidak ada masalah. Ya silakan saja, kita tidak boleh mengganggu agama atau kepercayaan orang, itu pilihan pribadi,” katanya.

 

Selasa (7/11) kemarin, MK memutuskan penghayat kepercayaan tertulis dalam kolom setiap identitas kependudukan sama halnya dengan agama yang diakui di Indonesia melalui pengujian Pasal ayat (1), (2), Pasal 64 ayat (1), (5) UU Adminduk. Bagi MK, pengosongan kolom yang diatur dalam UU Adminduk itu justru tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum yang adil bagi para penganut kepercayaan.

 

Akibatnya, ketentuan itu menimbulkan ketidakpastian penafsiran, sehingga penganut kepercayaan kesulitan memperoleh KK dan e-KTP. Hal itu tentu menimbulkan kerugian konstitusional yang mestinya tidak boleh terjadi. Untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan, para penganut kepercayaan kini dapat mencantumkan kolom agama di e-KTP (KK) dengan tulisan “penghayat kepercayaan”.

 

“Tanpa merinci kepercayaan yang dianut dalam KK maupun e-KTP. Begitu juga dengan penganut agama lain,” tutur Hakim Konstitisi Maria Farida Indrati saat membacakan pertimbangan putusan. Baca Juga: Pengkhayat Kepercayaan Persoalkan Pengosongan Kolom Agama

 

Permohonan ini diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim yang merasa dirugikan atas berlakunya kedua pasal tersebut. Alasannya, dengan mengosongkan kolom agama pada e-KTP, pemohon kesulitan dalam memperoleh hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Misalnya, hak memperoleh jaminan pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial.

 

Tak hanya itu, sulitnya mendapatkan akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, proses pemakaman, hingga sulitnya diterima di tempat kerja karena kolom agamanya kosong yang berakibat aliran penghayat/kepercayaan dituding tidak beragama (atheis). Pasal 61 ayat (1) dan pasal 64 ayat (2) UU Administrasi Kependudukan dianggap bertentangan dengan prisip negara hukum dan asas kesamaan warga negara di hadapan hukum. Atas dasar itu, pemohon meminta agar dinyatakan inkonstitusional sepanjang dimaknai frasa kolom agama termasuk juga kolom penghayat kepercayaan dan agama apapun.

Tags:

Berita Terkait