Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Kolom

Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Dengan dibukanya pintu mengawasi MK, bukan tidak mungkin akan melahirkan pengawas untuk KPK.

Bacaan 2 Menit

Namun yang ingin lebih disoroti di sini bukanlah mengenai Hakim MK itu harus diisi oleh para akademisi, dan tidak boleh diisi oleh bekas politisi. Yang ingin disoroti adalah, yang pertama adanya semacam transaksi bagi-bagi kekuasaan di tubuh MK tersebut oleh tiga lembaga negara, yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, dimana masing-masing lembaga negara itu memiliki jatah tiga orang Hakim MK. Hal ini dalam negara demokrasi dan negara yang ingin menjadi negara maju adalah suatu praktik demokrasi yang tidak baik. Tidak sepatutnya kekuasaan di tubuh lembaga negara dibagi-bagi oleh lembaga negara lainnya.

Yang kedua, sudah seharusnya sistem rekrutmen Hakim MK diselenggarakan oleh suatu panitia tunggal untuk menyeleksi sembilan orang Hakim MK, bukan bentukan tiap-tiap lembaga negara tersebut guna mencari tiga hakim yang menjadi jatahnya. Dimana rekrutmen tersebut juga harus diadakan secara terbuka dan transparan oleh panitia tersebut. Kedua hal ini untuk menghindari atau paling tidak me-minimalisir adanya “deal-deal” atau “seleksi transaksional” tertentu antara mereka yang berkepentingan ataupun yang ingin memanfaatkannya, seperti layaknya pemilihan Ketua KPK.

Sekarang, apakah MK ini dapat dipulihkan kembali baik oleh campur tangan lembaga negara lainnya maupun oleh MK itu sendiri tanpa merusak tatanan hukum yang ada? Apakah kepentingan politik penguasa-penguasa di negara ini dapat dijauhkan dari MK? Apakah MK dapat menjawab tantangan untuk memulihkan nama baik MK itu sendiri? atau Quo Vadis MK? hanya Tuhan, Presiden, DPR dan lembaga terkait seperti MK itu sendirilah yang bisa menjawabnya. masyarakat hanya akan menjadi penonton di NegErinya sendiri, tanpa bisa berpartisipasi lebih banyak secara langsung.

*Pembela Umum Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron

Tags:

Berita Terkait