Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Kolom

Quo Vadis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Dengan dibukanya pintu mengawasi MK, bukan tidak mungkin akan melahirkan pengawas untuk KPK.

Bacaan 2 Menit

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan BAB IX UUD 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman khususnya Pasal 24B ayat (1) di atas dan yang diakhiri dengan Pasal 25 tersebut, maka Pengawasan Komisi Yudisial terhadap MK seharusnya adalah Konstitusional. Memang agak aneh, jika ditinjau dari sudut pandang “conflict of interest”, MK mengadili dan menjatuhkan Putusan yang terkait langsung dengan lembaga itu sendiri, walaupun secara hukum memang tidak salah, namun tidak sesuai dengan etika dan kepatutan berdasarkan “conflict of interest”, seharusnya MK menerjemah atau menafsirkan UUD 1945 tersebut secara luas sebagaimana MK selalu menafsirkan makna UUD 1945 itu dengan sangat luas, bahkan terkadang terlalu luas, sehingga kadang melebihi yang seharusnya dalam pengujian berbagai macam undang-undang terhadap UUD 1945.

PERPPU Nomor 1 Tahun 2013, Konstitusionalkah?
Terlepas dari adanya keanehan dan perbedaan interpretasi di atas, yang menjadi permasalahan saat ini bukanlah tentang apakah MK butuh lembaga pengawasan yang bersifat eksternal atau tidak, tetapi instrumen hukum apa yang harus diterapkan atau diterbitkan untuk membentuk lembaga pengawas eksternal tersebut?

Sebagaimana diketahui Presiden telah menandatangani PERPPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK dengan maksud salah satunya untuk membentuk lembaga pengawasan eksternal terhadap MK. Langkah ini menurut penulis adalah langkah yang tidak tepat dan berpotensi merusak tatanan hukum di Indonesia karena norma dalam pasal suatu undang-undang yang mengatur pengawasan terhadap MK tersebut telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK yang sifatnya akhir dan final.

Bagaimana mungkin sebuah norma dalam Undang-Undang yang sudah dinyatakan inkonstitusional “dihidupkan lagi” menjadi konstitusional oleh Presiden dalam suatu aturan peraturan perundang-undangan yang sejajar dengan Undang-Undang?

Hal yang demikian justru menjadi boomerang dan dapat digunakan sebagai dasar untuk “menghidupkan kembali” norma-norma hukum dalam suatu ketentuan Undang-Undang yang sudah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh MK, sehingga dengan demikian dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi gunanya MK tersebut dipertahankan, jika norma hukum yang sudah dinyatakan inkonstitusional dihidupkan kembali menjadi konstitusional.

Meskipun demikian, demi kepentingan bangsa dan negara di hari yang akan datang, maka akan lebih baik jika atas kesadaran dari Hakim-Hakim di MK, mereka bersepakat untuk membentuk suatu lembaga pengawasan dengan menempatkannya di KY ataupun menyerahkan sepenuhnya kepada KY serta mengadakan suatu kesepakatan dengan KY mengenai letigimasi wewenang Pengawasan terhadap diri mereka, sang Hakim-Hakim MK tersebut. Mengenai hal ini dapat dituangkan dalam suatu kesepakatan Hakim-Hakim atau suatu peraturan MK dan atau melalui kesepakatan antar Lembaga MK dengan KY. Artinya sifat dari pengaturan tersebut lebih menonjolkan nilai-nilai sosial, etika dan kepatutan, tanpa merusak tatanan hukum yang sudah ada karena bukan bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan.

Hal lain yang mungkin menjadi asal-muasal penyebab adanya “borok” di tubuh MK ini adalah kesalahan dalam sistem rekrutmen Hakim MK itu sendiri. Misalnya seorang politisi, jika dianggap memiliki kapasitas, kapanpun dapat menjadi Hakim MK. Dimana sepatutnya politisi yang ingin menjadi Hakim MK harus dipastikan terlebih dahulu sudah tidak lagi memiliki ikatan-ikatan maupun hubungan-hubungan dengan politik, baik itu ikatan atau hubungan emosional maupun ikatan atau hubungan kepentingan tertentu. Hal yang mana sebenarnya kemudian diakomodir dalam Perpu No 1 Tahun 2013 ini dengan membatasi jangka waktu tidak boleh berpolitik selama tujuh tahun sebagai salah satu syarat menjadi Hakim Konstitusi

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait