Ranah Korupsi, Pencucian Uang atau Pasar Modal di Kasus Jiwasraya?
Kolom

Ranah Korupsi, Pencucian Uang atau Pasar Modal di Kasus Jiwasraya?

​​​​​​​Apabila dianalisis lebih mendalam kasus Jiwasraya, lebih tepat dari awal diproses dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, bahkan dapat dituntut secara pidana dan perdata.

Bacaan 6 Menit
Ranah Korupsi, Pencucian Uang atau Pasar Modal di Kasus Jiwasraya?
Hukumonline

Pada tanggal 26 Oktober 2020 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lewat Majelis Hakim sidang Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman maksimal yakni pidana penjara seumur hidup berikut denda kepada Hary Prasetyo (Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018), Hendrisman Rahim (Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018), Syahmirwan (Mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya), Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra).

Terdakwa Benny Tjokrosaputro (Direktur Utama Hanson International Tbk (MYRX)). Heru Hidayat (Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM)), selain pidana penjara seumur hidup dan denda, juga harus mengembalikan uang kerugian masing-masing Rp6,078 triliun untuk Benny Tjokrosaputro dan Rp10,72 triliun untuk Heru Hidayat.

Terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010  tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Sumber Dana Kasus Jiwasraya

Pertanyaannya, sumber dana dari kasus Jiwasraya ini apakah berasal dari keuangan negara ataupun kekayaan negara? Apakah dana yang Rp16,8 triliun sumbernya dari APBN/APBD? Kekayaan negara yang dipisahkan ataukah dana tersebut adalah berasal dari premi asuransi milik masyarakat? Ataukah ada percampuran keuangan negara dengan premi milik masyarakat?

Hal ini harus jelas terlebih dahulu, berapa prosentase milik negara dan berapa prosentase milik masyarakat. Ataukah premi masyarakat diperhitungkan sebagai dana pihak ketiga yang dikelola oleh negara melalui BUMN PT Jiwasraya (Persero)? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat terjawab dari laporan keuangan PT Jiwasraya (Persero) dari tahun 2008-2018.

Mencermati Laporan Keuangan PT Jiwasraya (Persero) 2008-2018, investasi yang dilakukan menggunakan sebagian besar adalah dana yang berasal dari premi asuransi yang pemiliknya adalah masyarakat. Apakah dana ini termasuk kategori keuangan negara? Yang jelas sumber dana ini bukan dari APBN ataupun APBD ataupun keuangan negara yang dipisahkan lewat BUMN/BUMD.

Status dananya adalah dari premi masyarakat yang dikelola oleh BUMN PT Jiwasraya (Persero) untuk diinvestasikan agar berkembang dan tumbuh sehingga manfaatnya kembali kepada pemegang polis. PT Jiwasraya (Persero) dalam hal ini mendapatkan profit/fee pengelolaan, profit/fee pengelolaan inilah yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kekayaan BUMN PT Jiwasraya (Persero).

Apabila dikaitkan dengan Pasal 2 huruf h Undang-Undang Keuangan Negara (UUKN) yang menyebutkan, "kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum". Pasal yang sama huruf i menyebutkan, "kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah". Pasal dan ayat ini seharusnya dibaca secara proporsional, berapa prosentase yang termasuk kategori kekayaan negara, kekayaan PT Jiwasraya (Persero) dan berapa prosentase dana masyarakat.

Kurang pas dan kurang bijak menyimpulkan dengan memukul rata bahwa seluruhnya adalah kekayaan negara, padahal jika lebih detail menelusuri sumber dananya adalah lebih dari 95% dana masyarakat pemegang premi asuransi. Mencermati sumber dana kasus ini, tidaklah tepat menggunakan UU Tipikor dan UU Keuangan Negara, dan kurang tepat kasus ini dikategorikan sebagai peristiwa korupsi menurut hukum.

Analisis dari Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

TPPU muncul akibat pengelolaan yang tidak prudent, berawal dan bersumber dari kebijakan arahan investasi PT Jiwasraya (Persero) yang sangat longgar, membolehkan beberapa jenis investasi yang punya risiko tinggi dan dikelola oleh pengurus perusahaan yang ugal-ugalan dan mengabaikan prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance). Contoh kebijakan dan arahan investasi yang membolehkan investasi untuk seluruh saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Mengapa tidak dibatasi hanya terbatas untuk Saham LQ45 (45 Emiten dengan kinerja dan kesehatan keuangan terbaik di BEI)?

Saham yang listing di BEI tidak semuanya bagus, ada juga yang kinerjanya sedang, buruk, buruk sekali, bahkan punya risiko yang sangat tinggi. Sehingga terjadilah skandal yang luar biasa dan merugikan masyarakat pemegang premi. Kemudian kerugian masyarakat itu ditalangi oleh negara? Kerugian negara timbul akibat pemerintah mau/bersedia menalangi yang seharusnya tidak perlu, karena kejahatan keuangan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak amanah mengelola dana masyarakat. Hal ini dapat menjadi preseden yang buruk pada masa yang akan datang, lakukan saja kejahatan keuangan atau urus BUMN/BUMD secara ugal-ugalan nanti negara yang bertanggung jawab dan mengganti kerugian (enak betul!).

Setuju ada unsur TPPU dalam kasus ini akibat dari kejahatan keuangan utama yang dilakukan sebelumnya, yakni kejahatan keuangan di bidang Pasar Modal. Jadi TPPU muncul karena rentetan proses kasus ini, originalnya bukan karena sumber uangnya berasal dari tindak kejahatan, tetapi sumber dananya yang tadinya legal kemudian disalahgunakan, dimanipulasi, disamarkan asal-usulnya, dibelikan/diinvestasikan pada bidang-bidang di luar amanat investasi dan digunakan untuk kepentingan pribadi, yang semua itu menyalahi aturan hukum dan akhirnya masuk ke ranah TPPU.

Analisis dari Tindak Pidana dan Perdata Pasar Modal

Mengikuti proses kasus Jiwasraya dan membaca PUTUSAN Nomor 32/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst. atas nama Dr. Hendrisman Rahim, Direktur Utama PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Tahun 2008 s.d. Tahun 2018 (Sebagai contoh salah satu putusan terkait Jiwasraya) sangatlah dominan di bidang pasar modal, baik pihak-pihak yang terlibat (Emiten, Perusahaan Sekuritas, Manajer Investasi).

Sarana yang digunakan dalam bertransaksi dan berinvestasi yakni melalui sistem dan mekanisme perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengawasan utamanya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), termasuk dalam hal ini industri jasa perasuransian. Demikian juga dengan istilah-istilah, kata kunci (key words), dominan berada di bidang Jasa Keuangan terutama bidang pasar modal, contoh Reksadana, Kontrak Pengelolaan Dana (KPD), KPD Full Discretionary Fund, KPD Semi Discretionary Fund, Efek, Portofolio Saham, Obligasi, Unit Penyertaan, Peraturan OJK dan seterusnya.

Apabila dianalisis lebih mendalam kasus Jiwasraya, lebih tepat dari awal diproses dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, bahkan dapat dituntut secara pidana dan perdata. Tindak pidana unsur penipuan dan manipulasi pasar/perdagangan semu di pasar modal Pasal 90, 91,92, 93 UU Pasar Modal (UUPM). Proses perdata dapat menggunakan Pasal 111 UUPM (semangatnya terkait dan relevan dengan Pasal  Pasal 61 Ayat (1), dan Pasal 97 ayat (6) UU Perseroan Terbatas), agar kerugian yang timbul secara perdata dapat dipulihkan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diperbantukan di OJK, adalah tenaga yang profesional dan punya keahlian dalam bidang pasar modal seharusnya lebih utama melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus ini, dan apabila hasilnya adalah dugaan kuat ada pelanggaran dan ada tindak pidana dilanjutkan dengan proses penuntutan (dilimpahkan ke kejaksaan) dan kemudian proses peradilan (kekuasaan kehakiman), sehingga terlihat due process of law yang adil buat semua pihak.

Penutup

Apabila dicermati akhir-akhir ini beberapa kasus dalam ranah hukum bisnis dijerat dengan “pasal sapu jagat” pasal korupsi yang disebutkan di atas padahal ada peraturan perundang-undangan yang lebih tepat dikenakan kepada para pelaku. Ke depan, semoga beberapa kasus sejenis atau kasus terkait dengan Jiwasraya yang akan berproses tidak lagi menggunakan “pasal sapu jagat” tersebut, misalnya untuk beberapa manajer investasi yang harus ikut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat tindakannya (Pasal 27 UUPM) dan menyusul kasus PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ASABRI (Persero) yang segera diproses hukum, konon dengan kerugian lebih besar dari Jiwasraya yaitu Rp17 triliun.  

Pemikiran ini sejalan dan banyak irisannya dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2020 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan tertanggal 18 Desember 2020. Rumusan Kamar Pidana Angka 4 menyebutkan, kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN/BUMD yang modalnya bukan bersumber dari APBN/APBD atau bukan penyertaan modal dari BUMN/BUMD dan tidak menerima/menggunakan fasilitas negara, bukan termasuk kerugian keuangan Negara. (Baca Tulisan:Conflict of Law: UU Keuangan Negara vs UU BUMN).

Semoga hukum dapat ditegakkan dan berkeadilan bagi semua pihak, adil buat negara (tidak perlu menalangi kerugian dalam kasus ini di samping menambah beban keuangan negara dan mengganggu perekonomian negara). Hukum juga adil buat pelaku (dituntut dengan aturan hukum yang pas, proporsional dan bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan) dan adil buat korban (kembalinya dana premi mereka tanpa pengurangan dalam waktu yang tidak terlalu lama).

*)Arman Nefi, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan Peneliti Pada Center for Indonesian Financial and Economic Law Studies (CIFELS).

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait