RCEP: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia
Kolom

RCEP: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia

​​​​​​​Jika Indonesia telah menyiapkan strategi dalam implementasi RCEP, maka RCEP diharapkan mampu menjadi building block terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, jika tidak RCEP mungkin saja bisa menjadi stumbling block.

Meskipun demikian, kedua sistem ini mempunyai cara yang berbeda dalam mewujudkan liberalisasi yang dimaksud. Liberalisasi versi WTO didasarkan pada prinsip-prinsip non-diskriminasi baik terhadap negara angggota maupun non-anggota. Sedangkan dalam PTAs, liberalisasi diterapkan secara selektif dan bahkan dalam hal tertentu bersifat diskriminatif.

Integrasi ekonomi melalui pembentukan Preferential Trade Agreement (PTAs) merupakan fenomena yang sudah, sedang dan akan terus berkembang. Dilip K. Das menyatakan bahwa PTAs telah berkembang sejak abad ke-16 ketika proposal penyatuan antara Inggris dan Skotlandia dibuat pada tahun 1547-1548. Selain itu, di Perancis pembentukan Customs Union diantara provinsi-provinsi dibentuk berdasarkan “Revoluntary Government” pada tahun 1789-1790.

Proliferasi PTAs telah mengakibatkan negara-negara mulai mengabaikan sistem perdagangan multilateral WTO. Ada yang beranggapan bahwa tujuan pembentukan PTAs adalah untuk melengkapi kekurangan yang terdapat dalam sistem perdagangan multilateral WTO. Misalnya, PTAs telah melakukan beberapa terobosan baru yang sebelumnya tidak tercakup dan menjadi topik yang diagendakan dalam sistem multilateral WTO.

Namun dengan semakin meningkatnya jumlah PTAs, anggapan tersebut ternyata tidak lagi sejalan dengan apa yang diharapkan. Bahkan sebaliknya, meningkatnya jumlah PTAs telah bertransformasi menjadi suatu ancaman terhadap eksistensi sistem perdagangan multilateral WTO itu sendiri.

Dalam menanggapi fenomena ini, ekonom terkemuka Jagdish Bhagwati menunjukkan sikap skeptisnya terhadap eksistensi PTAs dengan mempermasalahkan apakah kerja sama perdagangan dengan preferensi yang selektif  ini akan menjadi “building block” ataukah justru sebaliknya “stumbling block” menuju multilateralisme? Selain istilah building block dan stumbling block, meningkatnya jumlah RTAs juga diibaratkan sebagai fenomena “spaghetti bowl”, kondisi di mana suatu negara melibatkan diri ke dalam beberapa PTAs sehingga negara tersebut menghadapi tumpang-tindih (overlapping) terhadap aturan perdagangan internasional.

Dasar Hukum Pembentukan Preferential Trade Agreements

Dalam konteks hukum perdagangan internasional, prinsip MFN mengharuskan suatu negara untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap produk dan jasa dari setiap negara anggota WTO maupun terhadap negara non-anggota. Secara sederhana dapat dipahami bahwa PTAs merupakan sistem perdagangan yang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip MFN.

Namun, persetujuan WTO memberikan celah untuk setiap negara anggota mengecualikan kewajibannya asalkan memenuhi kondisi yang telah ditentukan. Hanya PTAs yang tunduk pada aturan pengecualian yang telah diatur dalam (Pasal XXIV GATT, Enabling Clause dan Pasal V GATS) yang dapat dibenarkan (compatible with WTO law).

Tags:

Berita Terkait