Refleksi Berpulangnya Prof Mardjono Reksodiputro dan Wimar Witoelar
Kolom

Refleksi Berpulangnya Prof Mardjono Reksodiputro dan Wimar Witoelar

​​​​​​​Berpulangnya Wimar Witoelar dan Prof Mardjono Reksodiputro adalah penanda semakin berkurangnya teladan dari generasi terdahulu di ruang publik. Selamat jalan Pak Boy dan WW.

Bacaan 5 Menit

Sebagai anggota KHN, posisi Prof Mardjono cukup vital dalam memberikan agenda reformasi hukum Gus Dur. KHN secara lugas menyampaikan hasil-hasil kajiannya mengenai apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah di berbagai sektor hukum seperti pendidikan tinggi, profesi hukum, peradilan dan penegakan hukum; terkadang dalam posisi yang diametral dengan sikap politik Pemerintah terutama pasca Gus Dur.

Gus Dur telah lama meninggalkan kita. Tapi dengan satu per satu berpulangnya individu yang pernah mewarnai masa pemerintahannya, kehilangan itu semakin terasa. Praktik yang kita lihat dalam merepresentasikan lembaga kepresidenan semakin jauh dari harapan. Kini, pejabat publik yang mengatasnamakan Presiden dalam narasinya ke publik acapkali menggunakan diksi yang minim respek ke lawan bicara. Masih lekat di ingatan publik, bahwa ada pejabat Istana mau menggunakan pengaruhnya untuk terjun dalam konflik partai politik dari faksi yang berseberangan dengan Pemerintah. Tak terbayangkan bila praktik seperti ini dilakukan oleh pejabat Istana pada masa Presiden Gus Dur.

Kemudian, hadirnya KHN di masa lalu memberikan landasan narasi dari pihak eksekutif untuk agenda reformasi hukum, baik di bidang peradilan, pendidikan tinggi maupun penegakan hukum. Dalam kajiannya di tahun 2010, KHN menyebutkan bahwa reformasi hukum pasca ‘98 masih menyisakan tunggakan pekerjaan yang belum kunjung selesai  di sektor eksekutif, legislatif, peradilan, profesi serta pendidikan tinggi hukum. Terbukanya input KHN terhadap kebijakan sektor hukum ini lahir dari posisinya yang independen terhadap Pemerintah, meski tergabung dalam rumpun eksekutif. Dengan segala keterbatasannya, disain KHN adalah sedemikian rupa agar input yang diberikannya bebas dari kepentingan jangka pendek dan lebih berorientasi pada agenda reformasi hukum jangka panjang.

Berefleksi dari pengalamannya sebagai juru bicara kepresidenan, Wimar bertutur bahwa jatuhnya Presiden Gus Dur lebih karena penolakannya untuk mengkompromikan nilainya demi jabatan Presiden. Konsistensi pada nilai, ketimbang kompromi demi jabatan bagi diri dan keluarga, makin terlihat luntur di hari-hari ini. Kita tidak tahu apakah membiarkan anggota keluarga ikut bertarung sebagai kepala daerah maupun posisi di lembaga negara merupakan refleksi lunturnya nilai-nilai tersebut; karena manusia mudah lupa dan ahistoris.

Memiliki kebijakan yang jelas dan tegas, di sektor hukum dari mulai melakukan revisi UU ITE hingga memerintahkan KPK untuk mencabut keabsahan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), tidak akan menjadi persoalan pada masa lalu karena pembantu Presiden dengan sigap akan merespon perintah Presiden tersebut. Tidak ada perintah maupun kehendak Presiden yang disampaikan secara abu-abu dan multiinterpretasi oleh para pembantunya. Tidak baik berandai-andai mengenai sesuatu yang tidak mungkin terjadi, tapi apa ketiadaan institusi independen yang mampu memberikan pertimbangan hukum tanpa tersandera politik merupakan penyebab miskinnya gagasan reformasi hukum pada pemerintah kini?

Akhirnya, berpulangnya Wimar dan Prof Mardjono adalah penanda semakin berkurangnya teladan dari generasi terdahulu di ruang publik. Pejabat publik, dari mulai kepala daerah hingga juru bicara Istana yang memiliki kedewasaan di muka publik dalam memperlakukan lawan bicara semakin langka. Argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan tanpa tersandera agenda politik pun nyaris punah.

Kepergian Wimar dan Prof Mardjono menjadi pengingat pentingnya melanjutkan kedewasaan dalam komunikasi publik serta penyampaian pertimbangan hukum, terutama pada eksekutif, tanpa tersandera kepentingan politik jangka pendek. Waktu memang jarang berpihak pada mereka yang ingin mengedepankan akal sehat dalan ruang publik; tapi tanpa itu semua teladan baik yang pernah diperlihatkan oleh Wimar, Prof Mardjono dan tentunya Gus Dur menjadi semakin jauh dari publik.

*)Gita Putri Damayana adalah Direktur Eksekutif PSHK dan Wakil Ketua STIH Jentera Bidang Penelitian. Harus dicatat bahwa, alm Prof Mardjono Reksodiputri adalah anggota Senat Guru Besar STIH Jentera, institusi tempat penulis bernaung.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait