Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018
Kolom

Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018

​​​​​​​Pembangunan semesta tidaklah cukup tanpa adanya pembangunan hukum.

Bacaan 2 Menit

[4]    Sebagai contoh, secara teori, hukum menjamin hak setiap individu untuk didampingi oleh advokat (right to counsel – Pasal 56 [1] KUHAP; Pasal 14  [3] ICCPR), namun dalam praktiknya, hak individu tersebut sering kali disabotase.

[5]    Para pendiri Republik Indonesia pun menginginkan urusan negara dan urusan agama dipisah, yang dicanangkan sebagai “separation between church and state” (scheiding van kerk en staat) oleh Bung Hatta. Kedua hal tersebut tidak boleh dicampuradukan.

[6]    Menurut World Report 2018 yang dilakukan oleh Human Rights Watch, di bulan September, Kejaksaan Agung RI mengumumkan bahwa mereka telah membatalkan pemberitahuan lowongan pekerjaan yang tidak hanya melarang pelamar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), tetapi juga menyatakan bahwa homoseksualitas adalah "penyakit mental.

[7]     Lawrence M. Friedman berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung kepada tiga unsur sistem hukum yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.

[8]   Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil, dan dalam konsep due process of law, sebenarnya terdapat konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).

[9]  W. Keeler (Shame and Stage Fright in Java, 1983) dalam penelitiannya berkata bahwa anak-anak di Jawa dan Bali (ada kecenderungan di seluruh tanah air) dididik untuk bermoral malu,

[1]   Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat).

[2]    Moh. Yamin di awal proses pembentukan NKRI, mengharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang menghargai HAM.

Tags:

Berita Terkait