Pengaturan TKA Masih Jadi Sorotan Selama 2018
Lipsus Akhir Tahun 2018:

Pengaturan TKA Masih Jadi Sorotan Selama 2018

​​​​​​​Terbitnya Perpres No.20 Tahun 2018 menuai kritik dari kalangan serikat buruh sampai akademisi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pengaturan TKA Masih Jadi Sorotan Selama 2018
Hukumonline

Ada banyak isu ketenagakerjaan yang ramai menjadi perbincangan publik selama tahun 2018, salah satunya tentang Tenaga Kerja Asing (TKA). Beberapa tahun sebelumnya, persoalan mengenai TKA sudah banyak disorot berbagai kalangan, terutama setelah pemerintah merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) RI No.12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA menjadi Permenaker No.16 Tahun 2015.

 

Permenaker No.16 Tahun 2015 mencabut ketentuan yang mewajibkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia untuk TKA. Tapi regulasi ini mengatur persyaratan baru untuk TKA antara lain wajib memiliki NPWP dan kepesertaan jaminan sosial nasional untuk TKA yang sudah bekerja lebih dari 6 bulan. Kemudian mewajibkan pemberi kerja TKA yang mempekerjakan seorang TKA harus dapat menyerap sekurangnya 10 tenaga kerja lokal pada perusahaannya.

 

Kritik terhadap Permenaker No.16 Tahun 2015 muncul dari Parlemen. Komisi IX DPR meminta pemerintah untuk merevisi peraturan itu. (Baca Juga: Kewajiban Bahasa Indonesia Bagi TKA Dihapus, Jokowi Dinilai Abaikan UU)

 

Beberapa bulan berselang, pemerintah merevisi Permenaker No.16 Tahun 2015 menjadi Permenaker No.35 Tahun 2015. Beleid yang diundangkan 23 Oktober 2015 itu menghapus ketentuan yang mewajibkan pengusaha yang mempekerjakan 1 orang TKA untuk mempekerjakan minimal 10 orang pekerja lokal. Tiga tahun kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA, peraturan ini mencabut Perpres No.72 Tahun 2014 tentang Penggunaan TKA Serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.

 

Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, menyebut tujuan utama Perpres No.20 Tahun 2018 untuk menciptakan perluasan lapangan kerja melalui perbaikan iklim investasi. Selain itu untuk memastikan prosedur penggunaan TKA bisa dilakukan dengan cepat dan efisien. “Tidak ada syarat kualitatif yang dikurangi untuk mempekerjakan TKA, ini malah lebih baik karena perusahaan yang mempekerjakan TKA wajib melakukan pelatihan bahasa Indonesia untuk TKA tersebut,” katanya dalam acara diskusi di Jakarta akhir April lalu.

 

Hanif menjelaskan salah satu isu yang menghambat daya saing Indonesia di bidang ketenagakerjaan yakni masalah prosedur penggunaan TKA. Secara prinsip pemerintah mengendalikan masuknya TKA melalui berbagai persyaratan yang telah diatur dalam regulasi, kemudian melakukan pengawasan dan penegakan hukum. TKA hanya boleh mengampu jabatan tertentu, tidak boleh mengerjakan pekerjaan yang umumnya mampu dikerjakan pekerja lokal. “Kalau kami temukan ada pelanggaran pasti akan ditindak,” tegasnya.

 

Salah satu ketentuan yang dinilai menghambat prosedur penggunaan TKA menurut Hanif mengenai rekomendasi dari kementerian atau lembaga terkait bidang yang akan diampu TKA. Misalnya, untuk TKA yang membidangi sektor minyak dan gas perlu mendapat rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Terbitnya Perpres No.20 Tahun 2018 menghapus proses rekomendasi itu. Mekanisme pengendalian yang dilakukan kementerian teknis terkait yakni menentukan mana jenis pekerjaan yang boleh atau tidak untuk TKA.

Tags:

Berita Terkait