​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)
Kolom

​​​​​​​Restrukturisasi Utang, Upaya Menghindari Kebangkrutan Akibat Pandemi Oleh: Ricardo Simanjuntak*)

​​​​​​​Secara strategi, langkah restrukturisasi dalam masa Covid-19 ini dapat dilakukan dengan tiga cara.

Bacaan 2 Menit

Restrukturisasi Utang Untuk Hindari Kebangkrutan

Walaupun Pandemi Covid-19 secara umum telah mengakibatkan kejatuhan aktivitas perekonomian yang sangat berat seperti yang telah diuraikan tersebut di atas, akan tetapi harapan dan semangat untuk menuju pada kesembuhan kembali adalah sangat beralasan dan akan terus menjadi ikthiar bersama Indonesia dan dunia, yang sedang ‘berjibaku’ untuk mengakhiri cengkraman maut dari pandemi Covid-19. Aktivitas kehidupan dan bisnis diyakini akan secara bertahap dikembalikan kepada wujudnya walaupun harus melalui protokol kesehatan yang menciptakan suatu normalitas kehidupan baru (New Normal), hingga pada ditemukan dan digunakannya vaksin anti Covid-19.

Dengan dasar berpikir dan ikhtiar bersama tersebut, maka ‘halangan memaksa’ pandemi Covid-19 yang bersifat sementara seharusnya lebih membuka harapan dan strategi mitigasi risiko bisnis, melalui langkah restrukturisasi. Harapan tersebut tidak hanya terhadap debitur yang sedang mengalami kesulitan keuangan yang berat (severe financial problem), tetapi juga terhadap para kreditur, atau terhadap para pelaku usaha yang sedang cemas menunggu atau mengharapkan pelaksanaan prestasi dari mitra bisnisnya. Dengan kalimat lain bahwa sebagai ketidakmampuan berprestasi yang bersifat temporer, lebih memberikan asa positif terhadap para kreditur untuk mempertimbangkan pemberian kesempatan me-reschedule atau merestrukturisasi utang dari masing-masing debitur mereka, daripada harus mempailitkan atau membubarkan debitur tersebut dengan rasio likuidasi harta yang sangat minim untuk membayar utang-utangnya.

Sebaliknya, para debitur yang saat ini benar-benar mengalami kesulitan untuk menyelesaikan kewajiban atau utangnya kepada krediturnya, akan tetapi masih meyakini bahwa sifat temporer dari pandemi Covid-19 ini akan memberi peluang bagi debitur tersebut untuk kembali menyehatkan status keuangan dari perusahaannya, haruslah secara aktif untuk mempersiapkan pola dan gambaran usulan rescheduling atau restrukturisasi bisnis yang akan ditawarkan dengan niat baik (good faith) kepada krediturnya. Debitur tersebut harus siap dan berupaya untuk membujuk atau memohon dukungan dari kreditur atau para krediturnya, untuk menghindari langkah hukum dari para kreditur tersebut, termasuk melalui pengajuan permohonan pernyataan pailit.  

Secara teori, restrukturisasi merupakan suatu langkah penyelesaian ‘potensi sengketa’ atau ‘sengketa yang telah timbul’  baik yang telah berada di pengadilan atau masih di luar pengadilan, yang dilakukan secara kekeluargaan atau bisnis to bisnis melalui suatu konsep dan konstruksi langkah ‘penyehatan terstruktur’ yang disepakati bersama, sebagai  dasar perubahan terhadap kesepakatan berbisnis terdahulu, berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 1855 KUH Perdata, jo. Pasal 1858 KUH Perdata. Secara strategi, langkah restrukturisasi dalam masa Covid-19 ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu; 1). Melalui strategi pendekatan Business to business, langsung dengan kreditur yang bersangkutan, 2). Melalui fasilitas yang diberikan pemerintah  melalui Peraturan OJK No.11 Tahun 2020, 3). Melalui Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang  (UU Kepailitan).

Langkah restrukturisasi melalui strategi pendekatan business to business, bersifat lebih langsung dan informal antara debitur dan krediturnya. Walaupun dalam praktik langkah restruktusasi ini dilakukan lebih pribadi dengan hasil yang lebih cepat, tetapi dalam keadaan tertentu, sering tidak mudah dan tidak pasti. Khususnya bila kreditur tersebut datang dari perusahaan berbasis kepemilikan asing, atau berbasis kepemilikan negara atau persero, yang memiliki kebijakan restrukturisasi internal yang sering tidak mudah untuk dipenuhi oleh debitur.

Demikian pula ketika melibatkan banyak jumlah kreditur. Debitur harus memastikan pendekatannya terhadap seluruh jenis krediturnya berhasil. Jika ada satu saja cari para kreditur tersebut menolak usulan restrukturisasi yang diajukan, akan berpotensi tidak amannya pelaksanaan proposal restrukturisasi yang telah berhasil dicapai dengan kreditur lainnya. Debitur yang menolak usulan restrukturisasi dapat tetap melakukan tindakan eksekusi jaminan kebendaan, atau mengajukan gugatan hukum, termasuk permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga.

Seperti yang telah diuraikan di atas, walau alternatif untuk merestrukturisasi utang terbuka berdasarkan Peraturan OJK No. 11 Tahun 2020, akan tetapi kesempatan restrukturisasi tersebut hanya terbatas pada debitur-debitur pelaku usaha kecil dan menengah yang mengalami ketidakmampuan sementara akibat dari Covid-19, yang plafondnya terbatas hingga Rp10 miliar. Artinya fasilitas tersebut tidak dapat digunakan oleh semua jenis kreditur. Jikapun dapat, tetap saja mekanisme penyelesaiannya akan dilakukan secara one to one dalam hal debitur memiliki lebih dari satu kreditur.

Tags:

Berita Terkait