Revisi UU Kepailitan Harus Perhatikan Status dan Perlindungan Kurator
Utama

Revisi UU Kepailitan Harus Perhatikan Status dan Perlindungan Kurator

Efektifitas dan efisiensi tidak akan terwujud jika kurator dianggap sebagai profesi yang tidak satu kesatuan dengan peradilan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Pertama, penekanan utama adalah terkait tidak adanya kepastian pelaksanaan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan mengenai ‘utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih’. Kedua, sebagian hakim niaga tidak memiliki record atau jam terbang keahlian yang cukup dalam memahami dan mendalami esensi hukum kepailitan, baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun tingkat Mahkamah Agung.

 

Pendidikan calon hakim niaga dinilai terlalu pendek dan seleksi pemilihan calon hakim niaga tidak jelas. Ricardo mengusulkan perkara niaga sebaiknya diselesaikan di Pengadilan Tinggi, seperti yang dilakukan di Singapura.

 

Ketiga, tidak ada kepastian hukum tentang jangka waktu penyelesaian perkara (time frame). Keempat, dalam praktik, terjadi kebingungan tentang implementasi ladder of creditor’s claim priority. Tidak ada kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak separatis ketika dihadapkan pada hak tagih pajak dan hak tagih buruh. Juga tidak ada upaya pembuktian dugaan kreditor fiktif, dan ada pelanggaran hukum pembuktian dalam hal Pengadilan Niaga mewajibkan ‘kreditor lain’ dalam persidangan.

 

Kelima, pelaksanaan hak mengajukan usulan perdamaian oleh debitor tidak realistis. Alasannya, hak untuk mengajukan usulan perdamaian dalam pasal 144 adalah hak debitor pailit, tetapi pengajuan berdasarkan Pasal 145 UU Kepailitan tidak adil bagi debitor pailit yang masih memiliki upaya hukum.

 

Keenam, tidak ada kepastian terhadap hak eksekusi dari kreditor separatis terhadap boedel pailit yang telah dijaminkan hak kebendaan dihubungkan dengan Pasal 56 dan Pasal 59. Ketujuh, tidak ada kepastian terhadap perlindungan kurator dan juga terhadap tata cara perhitungan fee kurator atau pengurus.

 

Tags:

Berita Terkait