Revisi UU Otsus: Jalur Cepat Papua Menuju Sejahtera?
Terbaru

Revisi UU Otsus: Jalur Cepat Papua Menuju Sejahtera?

Peran dan kedudukan Orang Asli Papua menjadi penekanan penting dalam revisi kedua UU Otonomi Khusus Papua. Grand design pelaksanaan Otsus diperlukan untuk mendorong strategi percepatan pembangunan yang terpadu.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit
Kredit Editorial: Sergey Uryadnikov / Shutterstock.com. YOUW VILLAGE, ATSY DISTRICT, ASMAT REGION, IRIAN JAYA, NEW GUINEA, INDONESIA - MAY 23, 2016: Schoolchildren in uniform. Small village of the Asmat tribe.  New Guinea.May 23, 2016
Kredit Editorial: Sergey Uryadnikov / Shutterstock.com. YOUW VILLAGE, ATSY DISTRICT, ASMAT REGION, IRIAN JAYA, NEW GUINEA, INDONESIA - MAY 23, 2016: Schoolchildren in uniform. Small village of the Asmat tribe. New Guinea.May 23, 2016

Demi kesejahteraan bagi Orang Asli Papua, lahirlah UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, sekaligus sebagai perwujudan pengakuan negara atas kekhususan daerah ini. Namun setelah 20 tahun diimplementasikan, keberadaan UU ini belum mampu mengantarkan masyarakat di ujung timur wilayah Indonesia itu pada kesejahteraan. Provinsi Papua  dan  Papua Barat masih menjadi daerah termiskin.

Investasi besar-besaran di sejumlah sektor tidak berdampak positif pada perekonomian penduduk asli. Mayoritas warga masih kesulitan mengakses layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan yang memadai.

Tujuan Otsus Papua untuk memberikan afirmasi atau keberpihakan pada Orang Asli Papua pun dipertanyakan. Taraf hidup masyarakat tidak kunjung meningkat, tidak terwujud keadilan dalam hal pemerataan dan percepatan pembangunan serta penghormatan hak-hak dasar sebagai warga negara. Selain itu, penerapan tata kelola pemerintahan yang baik di Papua masih perlu didorong.

Dinamika politik menyorot sejumlah kelemahan implementasi Otsus dan menuntut perbaikan hingga pada akhirnya Presiden Joko Widodo menandatangani UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, 19 Juli 2021.

”Presiden menghendaki hadirnya langkah-langkah terobosan, terpadu, tepat, fokus, dan sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang maju, sejahtera, damai, dan bermartabat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Bambang Gunawan.

Hal itu disampaikan Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Informasi dan Komunikasi Republik Indonesia, Bambang Gunawan, dalam sambutannya saat Webinar Cerdas Berdemokrasi Seri 5 yang mengangkat tema “UU Otsus Papua untuk (Si)apa?” Kamis, 5 Agustus 2021.

Dijelaskan Bambang, dari sisi pendekatan pembangunan, Presiden menghendaki penggunaan perspektif sosial budaya, wilayah, adat, dan zona ekologis dalam rangka pembangunan berkelanjutan. “Selain itu, upaya-upaya pembangunan difokuskan pada orang asli Papua,” katanya dalam webinar yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Hukumonline.

Hukumonline.com

Kredit Editorial: Belikova Oksana / Shutterstock.com. PAPUA PROVINCE, INDONESIA-JAN 03: Green vegetable displayed for sale at a local market in Wamena,on New Guinea Island, Indonesia on Jan 03, 2011. 

 

Akselerasi Pembangunan

Ada 20 pasal UU 21/2001 yang diperbarui melalui UU 2/2021 dengan menggarisbawahi peran dan kedudukan orang asli Papua. Di antaranya pasal 4 berkaitan dengan kewenangan khusus bagi provinsi dan kabupaten/kota.

“Dahulu hanya diberikan kepada provinsi namun sekarang, selain provinsi juga diberikan ke kabupaten/kota yang pelaksanaannya diatur dalam peraturan pemerintah,” ujar Valentinus Sudarjanto Sumito yang berbicara mewakili Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Akmal Malik Piliang.

Perubahan lainnya di pasal 6 berkaitan dengan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi). Dari total anggota DPRP dan DPRK (DPR Kabupaten/Kota), terdapat komposisi anggota yang diangkat seperempat kali jumlah anggota DPRP yang dipilih. Dari total jumlah ini, 30% berasal dari keterwakilan perempuan.

“Hal demikian juga berlaku bagi DPRK, dan khusus DPRK, dengan adanya ketentuan ini maka nantinya terdapat 225 orang asli Papua yang akan duduk di DPRK, 77 di antaranya adalah perempuan Papua,” kata Valentinus, menjelaskan.

Perubahan lain di pasal 17 tentang ketentuan masa jabatan gubernur serta pengaturan apabila berhalangan tetap, pasal 20 tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP), pasal 28 penghapusan ayat 1 dan 2 tentang pembentukan partai politik, pasal 34 masa berlaku pengaturan tata kelola dan dokumen keuangan sebagai sumber penerimaan bagi provinsi dan kabupaten/kota.

Perubahan berikutnya di pasal 36 berkaitan dengan pengaturan perhitungan penerimaan minyak bumi, diarahkan 30% untuk belanja infrastruktur, 10% untuk belanja pemberdayaan masyarakat adat. Sementara pembaruan di pasal 38 tentang keberpihakan dan perlindungan terhadap Orang Asli Papua di bidang ekonomi.

Selanjutnya, perubahan juga menyentuh pasal 56 berkaitan pelaksanaan pendidikan yang akan diatur dalam PP. Hal yang sama juga juga terjadi di pasal 59 tentang kesehatan, pasal 68 terkait pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam fasilitasi pemberian pedoman pelatihan dan supervisi pengawasan regulasi dan turunannya, serta pelimpahan kewenangan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.

“Pasal 68A ada tambahan pasal di luar UU 21/2001, berkaitan dengan Badan Khusus. Jadi nanti akan dibentuk badan khusus yang diketuai Wakil Presiden,” kata Valentinus.

Pasal 75 UU memuat ketentuan peraturan pemerintah dalam penyusunan sampai dengan penetapan harus selesai dalam batas waktu paling lambat 90 hari. Terakhir di pasal 76 ada perubahan berkaitan dengan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota sebagai wujud komitmen untuk akselerasi pembangunan dan pelayanan publik.

Evaluasi UU Nomor 21 Tahun 2001 

Webinar Cerdas Berdemokrasi ini juga mengungkap berbagai ketidakefektifan implementasi Otsus sejak 20 tahun lalu. Di antaranya dari segi tata kelola keuangan, karena belum adanya grand design, pelaksanaannya belum terarah atau tidak ada pedoman.

Kelemahan juga ada di sisi penggunaan dana yang bersifat umum atau block grant sehingga bisa dialokasikan untuk apa saja, bahkan terkadang tidak sesuai perencanaan.

“Ketika ada yang mendesak, langsung dilarikan anggarannya ke sana. Alokasi juga hanya kepada provinsi sehingga banyak narasi yang berkembang dari para bupati dan walikota yang menilai bahwa alokasi dana otsus belum berkeadilan,” ujar Valentinus.

Sesuai catatan BPK tahun 2021, menurut Valentinus, pemanfaatan dana Otsus belum optimal. Bahkan di tahun 2016, ditemukan bahwa Provinsi Papua belum menyusun perencanaan jangka menengah dan rencana definitif secara memadai sehingga belanja Otsus tidak memberikan manfaat optimal bagi orang asli Papua.

Ketua Desk Papua dan Kepala Pusat Analis Kebijakan dan Kinerja Kementerian PPN/Bappenas, Velix Vernando Wanggai menegaskan perlunya koreksi Otsus selama 20 tahun berjalan.

“Ada hal-hal yang harus dikoreksi dari sisi teknokrasi atau birokrasi, yang harus diperbaiki dari pendekatan substansial, juga tentang pemahaman terhadap aspek kultural, sosiologi dan antropologi di Papua,” kata Velix.

Ia juga menyadari pentingnyanya grand design pelaksanaan Otsus. Terkait hal ini, menurut Velix, Bappenas akan mendorong strategi percepatan pembangunan yang terpadu.

“Di satu sisi nanti ada strategi Otsus yang lebih substansial. Penting sekali Pak Dirjen Otda dan Pak Valentinus mengawal dari waktu ke waktu, bagaimana Otsus yang substansial, terutama dengan hadirnya UU Nomor 2 Tahun 2021,” kata putra asli Papua ini.    

Velix juga melihat potensi memaksimalkan penggunaan dana desa. Ia mencatat, alokasi dana desa atau dana kampung ke Provinsi Papua sekitar Rp4 triliun dan sebesar Rp1,7 triliun untuk Provinsi Papua Barat.

“Dana ini mengalir ke tingkat bawah dan harus ada sinergi dan keselarasan di dalam rencana induk sehingga baik dana Otsus, DAK, dana desa, dana kampung, maupun  dana dari kementerian/lembaga yang mengalir ke Papua, harus ada desain yang disepakati untuk kemudian kita kawal hingga 2041,” ujar Velix.

Otsus dan Kesejahteraan Keluarga

Alokasi dana Otsus yang lebih tepat juga disuarakan anggota MRP, Dorince Mehue. Ia bahkan meminta agar masalah ini betul-betul diperhatikan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU Nomor 2 Tahuan 2021.

“Pada saat RPP disusun, mohon untuk ada ruang bantuan yang langsung diterima oleh masyarakat akar rumput, dari 2,25 persen, 1 koma sekian persennya kalau bisa dipertimbangkan supaya langsung diberikan kepada Orang Asli Papua untuk melengkapi kebutuhan mereka, seperti pendidikan anak-anak, ekonomi keluarga, hingga perbaiki rumahnya,” ujar Dorince.

Menurutnya, mekanisme perlu disiapkan dan disusun agar negara bisa secara langsung melayani Orang Asli Papua tanpa hambatan birokrasi, ada bagian dana yang disiapkan untuk 20 tahun ke depan yang diatur untuk pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan infrastruktur. “Silakan nominalnya, apakah ditentukan dengan variabel tertentu, tetapi juga harus dilakukan pendampingan,” kata Dorince.

Tokoh Papua ini berharap agar MRP dipertimbangkan ikut mengawasi dana Otsus, termasuk  sejak proses perencanaan. “Di bagian mana MRP ditempatkan sehingga dalam 20 tahun pelaksanaan Otsus yang kedua, peran MRP betul-betul maksimal menjaga dan memberdayakan seluruh Orang Asli Papua di tanah Papua,” tandasnya.

***

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Direktorat Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum, dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Tags: